LAMONGAN lintasjatimnews – Suatu hari nanti, kita semua akan berhenti menulis entah karena waktu, usia, atau karena hidup kita sendiri telah sampai pada titik akhir. Tapi sebelum hari itu tiba, marilah menulis.
Menulis apa saja yang penting dan bermakna. Karena dengan menulis, kita tidak hanya hidup hari ini, tapi juga hidup dalam ingatan orang lain. Hidup dalam sejarah, hidup dalam lembar-lembar yang tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Menunda menulis adalah menunda hidup. Kalimat ini mungkin terdengar dramatis, tapi justru di situlah kebenarannya. Banyak orang menyimpan begitu banyak gagasan, pengalaman, pemikiran, atau kenangan yang berharga dalam benaknya—namun tidak satu pun pernah dituangkan dalam tulisan. Akibatnya, semua itu hilang begitu saja, larut dalam kesibukan, terkubur oleh waktu, atau bahkan terlupakan ketika usia tak lagi kuat mengingat.
Padahal, menulis adalah salah satu cara paling sederhana dan paling kuat untuk memastikan bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan tidak hilang begitu saja. Menulis adalah cara untuk berbicara pada dunia, bahkan ketika suara kita tak lagi bisa terdengar. Maka, menulislah sebelum terlambat—sebelum gagasanmu menguap, sebelum ingatanmu pudar, sebelum tanganmu lelah, atau sebelum waktumu habis.
Salah satu musuh terbesar manusia adalah lupa. Kita sering merasa ingat, tapi ketika hendak menceritakannya, kata-kata tidak lagi runtut. Apalagi jika menyangkut pengalaman masa kecil, pelajaran hidup, atau momen emosional yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Jika tidak segera dituliskan, semua itu perlahan memudar.
Ingatlah, cerita keluarga, kisah perjuangan hidup, refleksi atas peristiwa penting—semua bisa menjadi warisan tak ternilai bagi anak cucu kita. Tapi warisan itu hanya akan bertahan jika dituliskan. Apa jadinya jika satu generasi gagal menuliskan kisahnya? Maka yang hilang bukan hanya cerita, tapi juga identitas, nilai, dan sejarah.
Menulislah sebelum lupa. Tulislah tentang orang tuamu, tentang guru yang menginspirasimu, tentang sahabat yang pernah menyelamatkanmu dari keputusasaan. Jangan tunggu waktu luang, karena waktu tidak pernah benar-benar luang. Luangkanlah waktu, karena setiap kalimat yang tertulis adalah bagian dari dirimu yang berhasil diselamatkan dari keterlupaan.
Ingat, halaman kosong hanya akan tetap kosong jika tidak kamu isi. Maka menulislah—walau hanya satu paragraf, satu cerita pendek, satu halaman refleksi. Itu lebih baik daripada menyimpan niat menulis dalam diam, tanpa pernah berwujud apa-apa.
Setiap orang pasti ingin meninggalkan sesuatu yang bermakna dalam hidupnya. Tapi tidak semua orang punya kekayaan materi atau pangkat tinggi. Namun semua orang punya cerita, pengalaman, dan pemikiran. Dan itulah yang bisa diwariskan melalui tulisan.
Bayangkan betapa berharganya jika cucumu nanti membaca tulisanmu dan memahami apa yang kamu pikirkan tentang hidup, tentang cinta, tentang perjuangan. Mereka mungkin tidak pernah sempat bertemu langsung, tapi melalui tulisan, mereka akan tahu siapa kamu dan dari mana mereka berasal.
Tulisan menghubungkan masa lalu dan masa depan. Ia melintasi generasi. Maka menulislah bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk mereka yang belum lahir—agar mereka punya jejak, punya akar, dan punya pijakan.
Di tengah dunia yang penuh dengan noise, dengan komentar spontan, opini instan, dan arus informasi yang membanjiri media sosial, menulis adalah oase bagi kejernihan berpikir. Menulis memaksa kita berhenti sejenak, menyusun pikiran, mengendapkan emosi, dan merangkai makna.
Saat menulis, kita belajar untuk tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan, untuk mendengarkan suara hati, dan untuk memahami berbagai sudut pandang. Menulis membuat kita lebih bijak, karena ia lahir dari proses berpikir, bukan sekadar bereaksi.
Maka menulislah sebelum nalarmu tertumpuk oleh kebisingan zaman. Jadikan tulisan sebagai ruang untuk merenung dan merapikan isi kepala. Dunia tidak butuh lebih banyak komentar, tapi lebih banyak pemikiran.
Menulis adalah tindakan menyeberangkan pikiran dari batin ke dunia nyata. Menulis bukan hanya tentang gaya bahasa, tapi tentang keberanian mengabadikan makna. Setiap detik yang kita tunda, adalah detik yang menjauhkan kita dari kemungkinan tulisan itu lahir.
Menulislah sebelum terlambat. Karena esok belum tentu ada, tapi tulisan hari ini bisa abadi.
Reporter Fathurrahim Syuhadi