Diduga Oknum Debt Collektor Ilegal, Nama Kasat Reskrim Polresta Tangerang Dicatut Terima Koordinasi

Listen to this article

TANGERANG lintasjatimnews – Aroma busuk praktik penarikan kendaraan bermotor secara paksa kembali menyeruak, kali ini berembus dari jalanan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Sebuah insiden yang nyaris luput dari sorotan publik menyingkap modus baru perampasan kendaraan berkedok debt collector—beroperasi tanpa surat, tanpa legalitas, namun dengan gaya brutal dan ancaman yang seolah dilindungi kekuasaan. Rabu (25/6/2025).

Korban terbaru, Aang Evi Khunaepi, seorang teknisi jaringan Wi-Fi, mengalami langsung bagaimana hukum bisa terasa seperti ilusi di tengah jalanan. Di Jalan Pemda Tigaraksa, ia dihentikan secara paksa oleh empat pria tak dikenal yang mengaku sebagai utusan PT. Abapeni Jaya Amanah. Tanpa surat tugas, tanpa identitas resmi, dan tanpa dasar hukum yang jelas, mereka memaksa Evi menyerahkan kunci motornya—Honda Beat putih-hitam bernomor polisi A 3916 XG.

“Saya dihentikan secara mendadak. Mereka memaksa menyerahkan kunci tanpa menunjukkan surat apapun. Saya terpaksa menurut karena mereka bersikap memaksa,” ujar Evi, getir.

Namun ironi tak berhenti di sana. Setelah kendaraan dikuasai, Evi digiring ke kantor PT. Abapeni Jaya Amanah di Desa Matagara, Kecamatan Tigaraksa. Di tempat yang lebih mirip ‘Pos komando penekanan psikologis’ ketimbang kantor resmi, Evi diminta menebus kembali motornya dengan uang senilai Rp2,5 juta. Angka ini kemudian dinegosiasikan turun menjadi Rp1,5 juta—sebuah transaksi yang lebih menyerupai tebusan ketimbang penyelesaian kredit.

Yang patut digarisbawahi: Evi adalah nasabah OTO Finance. Namun, saat dikonfirmasi, pihak OTO justru membantah keterlibatan mereka dalam aksi tersebut. Salah satu kolektor internal OTO, berinisial SL, menegaskan bahwa PT. Abapeni Jaya Amanah bukan mitra mereka dan tak pernah diberi mandat untuk melakukan penarikan kendaraan.

“OTO tidak ada MoU dengan mereka. Mereka bertindak tanpa dasar hukum dari kami,” tegas SL.

Namun pihak PT. Abapeni Jaya Amanah, lewat manajernya yang dikenal dengan nama Fukra alias Racun, justru mengklaim sebaliknya. Dengan percaya diri, ia menyebut telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan pembiayaan, termasuk OTO. Bahkan lebih jauh, ia mengklaim telah “berkoordinasi” dengan aparat kepolisian, menyebut langsung nama Kasat Reskrim Polresta Tangerang, Kasat Reskrim Kompol Arief Nazarudin Yusuf, S.H., S.I.K., M.H.

“Kalau mau video call sama Pak Arif, bisa. Semua udah kita koordinasikan,” ujar Fukra. Namun ketika kesempatan video call itu disanggupi, ia justru mengelak—sebuah sinyal kebohongan yang terlalu mencolok untuk diabaikan.

Dan benar saja, ketika dikonfirmasi langsung, Kompol Arif Nazarudin hanya menjawab singkat melalui WhatsApp: “Gak kenal.” Sebuah bantahan keras yang seketika menggugurkan klaim pihak PT. Abapeni dan menguatkan dugaan pencatutan nama institusi demi melegitimasi tindakan ilegal.

Institusi Dicatut, Hukum Dipermainkan
Tindakan mencatut nama Polresta Tangerang bukan sekadar pelanggaran etika—ia merupakan pelecehan terhadap integritas institusi penegak hukum. Lebih dari itu, tindakan penarikan kendaraan tanpa putusan pengadilan adalah bentuk perampasan hak milik yang dalam hukum pidana dapat dikualifikasikan sebagai perampasan, pemerasan, hingga pencurian dengan kekerasan.

PT. Abapeni Jaya Amanah sendiri—yang disebut-sebut baru berdiri tiga minggu sebelum insiden—mengklaim sebagai “penyelesai kredit bermasalah”. Namun tak satu pun legalitas operasional mereka yang bisa diverifikasi publik. Mereka beroperasi dalam zona abu-abu, menampilkan diri seperti debt collector resmi, namun bekerja dengan cara-cara jalanan.

Kondisi ini menggambarkan betapa rapuhnya perlindungan konsumen ketika celah hukum dimanfaatkan oleh entitas-entitas bayangan yang mengedepankan premanisme di atas kepastian hukum. Mereka menyandera kendaraan dengan dalih tunggakan, meminta uang tebusan tanpa prosedur legal, dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat sebagai senjata utama.

Jika aparat tidak segera bertindak, masyarakat akan terus menjadi korban dari “debt collector liar” yang berlindung di balik jargon penyelesaian kredit. Di sinilah negara ditantang untuk membuktikan: apakah hukum hanya milik yang berkuasa, atau benar-benar alat keadilan bagi seluruh rakyat.

Sudah saatnya Kepolisian bergerak lebih dari sekadar klarifikasi. Penyelidikan harus dilakukan terhadap PT. Abapeni Jaya Amanah, terhadap individu-individu yang terlibat, dan terhadap modus serupa yang mungkin telah memakan banyak korban lainnya.

Satu hal yang pasti: ketika hukum tak lagi ditegakkan, maka para bandit akan bertransformasi menjadi penagih utang berseragam, dan jalanan akan menjadi panggung perampokan yang dilegalkan.

(.Red)