SURABAYA lintasjatimnews – Salah satu Anggota BANGGAR DPRD Kota Surabaya, Bapak Baktiono menyesalkan, dan sangat merasa kecewa karena tidak ada yang meliput dan memuat berita, saat dimana proses perjuangan dewan dalam penganggaran kepada masyarakat.
“Itu harusnya dimuat, saya mengkritik wartawan, jangan ada alasan karena ini di jaga Pamdal dan tidak diperbolehkan masuk, Pamdal tidak berwenang untuk menghalangi media, yang berwenang itu adalah pimpinan DPRD Surabaya,” tandas Baktiono ditemui awak media usai rapat Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya.
Ia menjelaskan, bahwa sidang rapat Banggar tersebut berlangsung keras. Pasalnya, mayoritas anggota banggar di komisi C mengajukan pertanyaan lantaran kerap didatangi oleh warga terkait permasalahan MBR, pelayanan Rumah Sakit, PPDB, seragam sekolah dan beasiswa.
Terlebih menurut Baktiono, seharusnya Pemerintah membikin persyaratan bagi warga tidak mampu Namun, tidak dengan banyak syarat, seperti jaman pemerintahan presiden sebelumnya dengan 14 syarat yang tidak mungkin diterapkan di Surabaya.
Karena dengan banyak persyaratan. Masih kata Baktiono, itu artinya tidak ada niatan baik untuk membantu warga Kota Surabaya. 14 syarat itu, sebut Baktiono salah satunya adalah warga yang tinggal di rumah berlantai tanah dan berdinding dari anyaman bambu ( Gedhek ).
“Syarat itu tidak bisa diterapkan di Surabaya, kalau di kota lain barangkali masih bisa. Namanya saja penghasilan, berarti Masyarakat berpenghasilan rendah, penghasilannya lebih rendah dari UMK per bulan,” tegasnya.
Kalau MBR yang saat ini diterapkan adalah untuk orang per orang, tapi Baktiono mengusulkan agar dibuat aturan untuk MBR dengan angka total penghasilan satu keluarga dibawah 10 juta rupiah.
“Jadi jangan melihat harta benda atau rumah, kalau seperti itu, bisa saja milik orang lain, bisa Kos, Sewa atau bahkan cicilan. Ukurannya adalah dari penghasilan,” terang Baktiono.
“Bisa saja dia punya mobil atau motor cicilan yang digunakan untuk kerja, seperti ojek atau taksi online. Satu syarat aja, Sistem untuk KBR bisa jadi satu-satunya program bantuan di Indonesia,” tambahnya.
Patokan penghasilan untuk bantuan warga MBR, menurut Baktiono adalah usulannya dan telah dilaksanakan sejak era Walikota Tri Risma, tepatnya saat pencanangan 14 persyaratan dari Pemerintah SBY untuk warga yang bisa dikatakan miskin.
“Kalau menuruti aturan waktu itu, di Surabaya pasti tidak akan ada yang menerima bantuan, maka disepakatilah bantuan APBD kota diberikan kepada yang berpenghasilan dibawah UMK,” tuturnya.
Surabaya itu, masih kata Baktiono, harus bisa menyajikan dan menyampaikan data yang realistis, baik data keberhasilan ataupun data masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“Jangan ada yang ditutup-tutupi. Kalau kita menyajikan data yang sesungguhnya, tidak akan mengurangi kredibilitas Walikota dan Pemkot Surabaya. Toh kinerja Pemkot sudah dapat banyak penghargaan baik secara Nasional maupun Internasional,” tegasnya.
Dalam rapat yang tertutup dari media ini, Baktiono secara keras mengaku menentang penempelan stiker bagi warga MBR.
“Saat ini sudah dicetak banyak stiker untuk ditempel di rumah warga MBR, ini saya tentang keras, saya minta untuk tidak ditempelkan,” tegasnya.
Karena, lanjut Baktiono, di bulan Kemerdekaan ke 77 ini, hal tersebut dianggapnya sudah bertentangan dengan semangat Sang Proklamator Bung Karno yang mati-matian menjaga harga diri bangsa.
“Meskipun pada waktu itu baru merdeka kita susah dan miskin, tapi Sang Proklamator Bung Karno ngomong dimana-mana bahwa kita bukan bangsa tempe, kita punya harga diri,” ucap Baktiono menirukan pidato Bung Karno.
Andai nanti ada penempelan stiker MBR kerumah-rumah, maka Surabaya dan bangsa Indonesia akan sangat dipermalukan, bahkan hingga di kancah Internasional apabila sampai terekspos oleh banyak media.
“Harga diri bangsa, harga diri kota Pahlawan akan jatuh dan dilecehkan oleh negara lain. Sekali lagi ingat, kita bukan bangsa tempe, tapi kita adalah bangsa yang besar dan tidak bisa di remehkan,” tandasnya dengan penuh kemarahan.
Reporter andik