SURABAYA lintasjatimnews.com – Dalam rangkaian Hari Jadi Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), segenap pimpinan dan pegawai DISBUDPAR dan UPT TBJT ziarah ke makam Cak Durasim yang berada di TPU Tembok, Jl. Tembok Dukuh X, Kel. Tembok Dukuh, Kec. Bubutan, kota Surabaya.
Kegiatan ini, juga dihadiri oleh Dr. Hudiyono, MSi. Selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Ali Ma’ruf., S.Sos., MM. Selaku Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur, Samad Widodo, Hario Widyoseno, Bambang, dan para budayawan di Surabaya, serta awak media.
Sosok Cak Durasim sudah tidak asing lagi bagi warga Surabaya, beliau adalah seorang pejuang dibidang kebudayaan, yang lebih dikenal dengan kesenian Ludruk.
Cak Durasim bernama asli Gondo Durasim. Ia lahir di Jombang, Jawa Timur. Cak Durasim merupakan seniman ludruk yang memprakasai perkumpulan ludruk di Surabaya. Pada tahun 1937, ia mempopulerkan cerita-cerita legenda Soerabaja dalam bentuk drama.
Dalam setiap pertunjukan ludruk yang digelarnya sudah termasuk satu kesatuan dari tari remo yang menampilkan kepahlawanan, juga dagelan sebagai sisipan, dan baru kemudian masuk ke inti cerita.
Selain di Jombang, ia juga pernahmulai membentuk kelompok ludruk di Surabaya. Hal ini karena dalam pembentukannya ludruk tersebut disponsori oleh Tom alias Dr. Soetomo, tokoh pejuang perintis kemerdekaan yang terkenal di awal ke-20.
Kedatangan tentara Jepang tidak membuat kecil nyalinya. Bahkan pada tahun 1942 ketika tentara Jepang menguasai negeri ini, melalui ludruk sebagai media siar, ia membakar semangat juang arek-arek Surabaya dalam mengkritik pemerintah penjajah, di dalam setiap pementasan drama ludruknya. Selain menceritakan legenda Surabaya ia juga mementaskan cerita perjuangan-perjuangan lokal masyarakat Jawa Timur dan gendhing Jula-Juli Surabaya melengkapkan kritik yang disampaikan pemerintah penjajah.
Pada puncaknya waktu pentas di Keputran Kejambon Surabaya ia melantunkan kidungan yang sangat populer yang berbunyi: “Pegupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”. Akibat sebaris kalimat itulah ia ditangkap, disiksa oleh tentara Jepang dan akhirnya mereka menyeretnya ke penjara. Ia meninggal dunia setahun kemudian, dan dimakamkan di Makam Islam Tembok. Berkat keberanian itu, namanya dikenang sepanjang masa sebagai seniman serta pahlawan.
Atas kesungguhan, gagasan, perjuangan, dan jasa-jasanya sosok Cak Durasim dihadirkan kembali dalam berbagai ekspresi antara lain untuk nama gedung pertunjukan yang berdiri di kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Patung dan parikan fenomenal karyanya pun diikutsertakan dalam konstruksi bangunan tersebut.
Dalam sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur “kami sebagai warga jawa timur sangat bangga dengan perjuangan Cak Durasim dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui syair dan kesenian,” tegas Dr. Hudiyono, MSi.
Gedung Cak Durasim tak hanya berfungsi sebagai latar pertunjukkan teater, tetapi juga untuk pementasan puisi, seni musik, seni tari, seni rupa, dan sebagainya. Sastrawan W. S. Rendra pernah menggelar pementasan spektakulernya di gedung itu. Namanya juga diabadikan sebagai nama Festival yang juga di gelar di kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Festival Seni Cak Durasim. Penghargaan seni tradisional pun menggunakan namanya. Sampai saat ini, namanya kerap disebut-sebut dalam pembahasan-pembahasan seni. Bahkan mahasiswa-mahasiswa ITB selalu merujuk padanya bila memperbincangkan hal mengenai ludruk.
Reporter (CakBAS)