JAKARTA (lintasjatimnews.com) – Islam sejatinya menaruh perhatian besar pada kesejahteraan sosial. Rukun Islam tidak hanya berbicara “rukun individu”, yaitu syahadat, shalat, puasa, dan haji. Namun, juga berbicara “rukun masyarakat”, yaitu zakat. Zakat adalah pilar utama mewujudkan kesejahteraan sosial. Karenanya, zakat hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib zakat. (Jumat, 8/1/2021)
Betapa pentingnya syariat zakat, maka kita selalu mendapati di dalam Al-Qur’an perintah menegakan shalat selalu digandengkan dengan perintah membayar zakat. Karenanya, Khalifah Abu Bakar memerangi orang-orang yang ingkar zakat pada masa pemerintahannya. Ini menunjukan betapa strategisnya zakat sebagai salah satu pilar rukun Islam.
Namun, sayangnya perhatian umat muslim Indonesia terhadap zakat tidak sebesar perhatian mereka pada shalat, puasa, dan bahkan haji yang notebene memerlukan biaya tidak sedikit untuk menunaikannya. Lihat saja di sekitar kita, berapa banyak orang yang pergi haji berkali-kali? Belum lagi ditambah umrah.
Secara psikologis, hal ini bisa dipahami karena (setelah syahadat) shalat, puasa, dan haji adalah ibadah yang memberikan dampak manfaat langsung kepada pelakunya. Bahkan, pelakunya juga bisa merasakan langsung pengalaman spiritualnya.
Sementara, zakat dipandang sebagai ibadah yang tidak memberikan dampak manfaat langsung kepada pelakunya, pun pengalaman spiritual dalam melaksanakannya. Zakat lebih banyak dipandang sebagai ibadah untuk kebermanfaatan oranglain.
Barangkali paradigma inilah yang membuat realisasi syariat zakat di Indonesia belum sesuai harapan. Ini pula yang menyebabkan potensi zakat di Indonesia yang mencapai Rp 230 triliun pada 2020, namun baru sekitar Rp 8 triliun yang berhasil dihimpun sebagaimana data yang disampaikan BAZNAS.
Karena itu, perlu ada perubahan paradigma umat muslim dalam memandang zakat. Sebagaimana shalat, puasa, dan haji, kebermanfaatan zakat yang paling utama sejatinya untuk muzaki sendiri. Ada dua manfaat utama zakat bagi muzaki, yaitu pembersihan harta dan penyucian jiwa (QS. 9: 103).
Pertama, zakat merupakan pembersih harta yang tersisa setelah dikeluarkan zakatnya. Harta yang kita peroleh sejatinya merupakan rezeki dari Allah. Di dalamnya, Allah menitipkan rezeki untuk fakir miskin. Karenanya, ada hak fakir miskin yang harus dikeluarkan.
Jika tidak dikeluarkan, sama dengan kita memakan hak fakir miskin. Tegakah kita memakan hak mereka yang sangat membutuhkan? Nilai Rp 250 ribu (nilai zakat dari Rp 10 juta) sangat berarti bagi fakir miskin. Ketika kita tetap memakan hak mereka, sejatinya bukan harta yang kita makan, melainkan bara api yang akan memenuhi perut kita.
Sementara, jika kita mengeluarkannya, itu artinya kita telah membersihkan harta kita. Harta yang kita konsumsi tidak lagi bercampur dengan hak fakir miskin. Maka, harta itu halal, suci, dan baik. Harta yang halal, suci, dan baik, insya Allah akan menjadi nutrisi yang baik bagi tubuh dan mendatangkan keberkahan. Salah satunya kesehatan.
Kedua, zakat merupakan penyucian jiwa bagi diri kita. Manusia memiliki potensi sifat kikir atau bakhil. Jika dibiarkan, potensi kikir akan menguat dan mengakar. Seseorang akan terbelenggu jiwanya oleh kekikiran. Kesibukannya hanya mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (QS. 104: 2).
Karenanya, potensi kikir mesti dikikis atau bahkan dimatikan melalui zakat. Hukum zakat yang wajib memaksa kita untuk mengeluarkan harta yang cenderung membuat kikir. Ketika zakat ditunaikan dengan konsisten, maka insya Allah akan mengikis dan menghilangkan sifat kikir. Dengan demikian, jiwa menjadi tersucikan dari kikir dan sifat-sifat tercela lainnya.
Paradigma di atas mesti terus diedukasikan dan disampaikan kepada umat Islam untuk menumbuhkan kesadaran berzakat. Bisa dibayangkan bila potensi zakat Rp 230 triliun dapat terealisasi, ini angka yang besar untuk program-program pemberdayaan fakir miskin agar menjadi berdaya. Pada akhirnya, akan terwujud kesejahteraan sosial.
Kemiskinan tidak mungkin dihilangkan. Karena, ia adalah sunnatullah. Ada sebagian yang kaya, ada pula sebagian yang miskin. Namun demikian, tugas kita adalah bagaimana bisa meminimalisir angka kemiskinan dan menaikan kualitas kemiskinan.
Jika sampai hari ini acuan yang dipakai adalah pendapatan di bawah 2 dolar Amerika per hari untuk kategorisasi miskin, maka harusnya bisa dinaikkan angkanya menjadi 3 atau 4 dolar per hari. Jadi, bukan hanya jumlah orang miskinnya yang perlu direduksi, namun standard kemiskinannya juga perlu dinaikkan. Dengan demikian, meski masuk kategori miskin, namun secara umum memenuhi standard hidup layak.
Cita-cita di atas bisa dicapai dengan mewujudkan kesalehan sosial. Zakat adalah instrumen utama untuk mewujudkannya. Islam tidak hanya menghendaki umatnya saleh secara individual, namun juga saleh secara sosial. Pandemi covid-19 yang masih berlanjut dan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, menjadi momentum tepat untuk mengaktualisasikan dan mewujudkan kesalehan sosial.
Dompet Dhuafa adalah lembaga nirlaba milik masyarakat indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf), serta dana lainnya yang halal dan legal, dari perorangan, kelompok, perusahaan/lembaga). Selama 27 tahun, Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi layanan bagi perkembangan ummat dalam bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan kebencanaan serta CSR. (Fatzry)