Sudah Muak oleh Fanatisme Buta dalam Demokrasi, Merajut kembali Indonesia

Listen to this article

SURABAYA lintasjatimnews.com – “Kita membutuhkan koalisi rekonsiliasi.
Kita perlu menemukan format koalisi baru dalam proses politik demokrasi Indonesia. Koalisi yang sekarang dibicarakan berpotensi memperdalam pembelahan dan membawa ancaman disintegrasi.

Persatuan adalah modal kita paling berharga untuk menghadapi krisis global yang kini terjadi berlarut-larut.
Kita membutuhkan konsolidasi elite nasional untuk keluar dari krisis dan menjadikan Indonesia superpower baru.
Gelorakan semangat Indonesia !” (Anis Matta)

Ucapan diatas oleh Anis Matta, Ketua Umum Partai Gelora Indonesia menjadi pemantik tulisan ini terhadap apa yang saya rasakan dan harap kan, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua sebagai bangsa yang besar.

Fanatisme bukanlah sifat fitrah dari seorang manusia, melainkan rekayasa yang ditimbulkan. Dalam sudut pandang sosiologis, fanatisme bisa lahir karena faktor bentukan lingkungan, ke­luar­ga, dan penanaman berupa nilai-nilai yang ditu­runkan amat kuat secara terus menerus. Nilai kesukaan dan kebencian (dislike and unlike) beberapa tanpa berdasarkan argumentasi.

Saya yakin ini se­jalan dengan paham primordial yang sangat akut. Primordial adalah paham yang dipegang teguh akan suatu hal, yang sejatinya sudah ditanamkan sejak dini. Primordial terjadi ka­rena sikap untuk melestarikan keutuhan suatu kelompok tertentu yang menimbulkan cinta yang berlebihan. Di sisi lain, dari sudut pandang psikologis, seorang indi­vidu memang punya naluri batin untuk me­nyukai atau membenci sesuatu dan men­dorong sifat egoisme. Itulah akar-akar yang memetakan seseorang menjadi fanatik.

Di dalam hiruk pikuk pesta demokrasi terdapat celah terciptanya bibit konflik dan fanatisme berlebihan. Karena itu, secara psikologis, demokrasi mensyaratkan adanya orang-orang yang cukup pendidikan, berpikiran terbuka, toleran, bisa menerima perbedaan terhadap orang lain.

Perasaan mencintai terhadap organisasi yang mendorong seseorang untuk berjuang untuk kelompoknya adalah sesuatu yang lumrah dan alamiah. Dalam politik sikap partisan yang mendorong loyalitas dan kerelaan orang bekerja sukarela untuk partai terkadang diperlukan.

Musim kampanye pemilu 2024 akan segera dimulai, beberapa orang sudah mulai memainkan dan mengipasi pemilih supaya tetap panas, beberapa juga menghembuskan kabar untuk saling menjatuhkan yang belum tentu kebenarannya. Karena itu, untuk menjadi pemilih yang kritis, setiap orang harus introspeksi memeriksa fanatisme dalam diri masing-masing. Hanya dengan cara itu kita bisa menyelamatkan demokrasi kita.

Tanpa disadari gerakan fanatisme ini me­nentang yang tidak sesuai dan sejalan dengan nya, sebuah tindakan kehilangan nalar untuk ber­pikir cerdas dalam berdemokrasi, hal ini sebenarnya sudah dapat dikatakan se­ba­gai fanatisme. Lebih ironisnya, fanatisme sudah dalam level berlebihan dari sekadar meyakini dan mem­percayai.

Hal-hal tertentu memang bisa ditimbulkan dengan sengaja pada dunia politik, misal nya doktrin-doktrin, penggiringan opini, kampanye hitam, manipulasi data dan menimbulkan stereo­tipe buruk pada kelompok tertentu, yang jelas nanti nya akan mensugesti massa pendukung da­lam jumlah besar. Pendukung ini lalu terin­dikasi untuk memuja-muja dan membenci kelompok tertentu. Inilah yang dinamakan Propaganda Politik.

Jika gerakan fanatisme ini terus dijaga, dilindungi, dan di­­rawat dengan atau sengaja untuk meraup keuntungan, tidak menutup kemungkinan tim­bul­nya fenomena pembelahan di dalam hidup bermasyarakat kita. Jelas hal ini membuat rakyat semakin terkotak-kotak dalam kondisi yang menyedihkan dan mem­buat indikasi timbulnya politik tidak sehat.
Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Padahal nilai-nilai kebhinnekaan, yang katanya berbeda-beda tetapi tetap satu, sudah ditempa pada kita sejak masih kecil dahulu.

Saya memimpikan Indonesia menjadi negara Demokrasi yang sehat yang salah satu indikasi nya meskipun suara masyarakat terbelah sesuai afiliasi pilihan politik masing-masing namun masyarakat yang berintelek­tu­al, cerdas, dan matang dalam hidup berde­mokrasi seka­li­gus tahu atau mau memahami kebijakan-kebijakan revolu­sio­ner yang menyejahte­ra­kan. Politikus harus bertarung sehat da­lam hal gagasan, ide, maupun kebijakan yang akan di­implementasikan tanpa membuat rakyat menjadi terbelah.

Rakyat Indonesia harus sudah bisa mengerti fungsi kampanye yang sebenarnya. Rakyat Indonesia harus punya kesadaran dan pemerhati politik yang tinggi, yang memilih dengan melihat visi dan misi dari para kandidat tanpa menyampingkan hitungan persentase kemungkinan berha­sil­nya program yang akan dijalankan (apakah masuk akal ? Apakah berpihak pada kepentingan Rakyat banyak ?) tanpa harus membuat diri mereka menjadi fanatik.

Tindakan fanatisme ini justru membuat banyak kerugian. Pertama, timbulnya keben­cian yang amat tinggi terhadap lawan-lawan politik. Kedua, sikap kritis terhalang idealisme politik yang sempit. Warga negara tidak memiliki pemikiran politik kritis, dan lebih celaka lagi kalau generasi muda ikut dalam fanatisme politik. Dalam hidup berdemokrasi, negara membutuhkan generasi muda yang kritis terhadap perjalanan politik di dalam negara­nya. Ketiga, akan muncul konflik yang berkepanjangan, saling menyalahkan antara kubu yang satu dengan kubu lain. Setiap pendukung dengan mudah diprovokasi demi kepen­tingan politik semata. Masyarakat pemilih hanya dijadikan alat untuk menggapai kursi kekuasaan atau keinginan golongan tertentu.

Gerakan fanatisme politik ini tentu dapat memantik amarah dan cenderung mengalami konflik dengan pihak lawan. Terlebih-lebih sampai harus memunculkan rasa kebencian dan pertikaian yang dapat menggerus ikatan persaudaraan antar sesama anak bangsa.

Pendukung yang berbicara politik wajib dengan rasional dan berpolitik semakin dewasa dengan cara berpolitik yang di­bangun dengan akal sehat. Di sisi lain, fanatisme jangan sam­­­­­pai dianut masif oleh massa pendukung. Berpolitik lah de­ngan gagasan dan berbuat sebagaimana sebenarnya yaitu ber­politik cerdas dan berpikir rasional, menjadi rakyat yang kritis dan tidak fanatik buta, semoga kita semua tidak menjadi bagian fanatisme politik seperti ini.

Politik itu dinamis, kita sebagai bagian mahluk yang berpolitik hendak nya jangan mudah menjadi baperan.
Mari merajut kembali Sang Merah Putih.

Penulis :

Robi Fajarillah Rangkuti, ST., MM.
Ka. Teritorial Dapil 5 Surabaya
Partai Gelora Indonesia

Bacaleg DPRD Dapil 5 Kota Surabaya