JAKARTA (lintasjatimnews.com) – Luasnya Indonesia menyisakan tantangan infrastruktur digital yang saat ini belum merata. Infrastruktur digital memadai merupakan prasyarat utama dalam penyelenggaraan Pembalajaran Jarak Jauh (PJJ). Menurut Whisnu Triwibowo, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, selain ketersediaan infrastruktur digital, status sosial-ekonomi juga memengaruhi tingkat kompetensi dan literasi dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Adanya kesenjangan digital berpotensi memicu ketimpangan sosial yang berdampak pada kualitas pembelajaran siswa.
“Pembelajaran Jarak Jauh menjadi lebih bosan, untuk fokus saja sudah alhamdulillah. Aku gak mau buat mereka tertekan
Karena di kondisi begini mereka sudah tertekan. Mereka menyiapkan zoom nya meski dari pagi hari. Yang penting anak-anak harus enjoy dulu dengan kondisi belajar jarak jauh. Memotivasi anak untuk belajar dengan baik adalah cara cerdas, pandemi seperti ini kita bisa menjalin hubungan baik dengan anak. Keinginan kami, ingin anak-anak bertumbuh demgan sehat, tumbuh bahagia dan bisa dijalankan dengan senang hati. Sehingga tetap menjadi anak-anak yang positif,” tutur Nola B3, sosok publik figur, pada Kamis (23/7/2020), dalam talkshow Hari Anak Nasional di channel Youtube Dompet Dhuafa TV.
Kemudian Rina Fatimah, selaku Direktur SMART Edunesia Dompet Dhuafa, menambahkan bahwa, “Saat ini kita konsen dalam tahap program recovery dari pandemi Covid-19, salah satunya di bidang pendidikan. Menurut survei dan riset dari Kemendikbud, saat menerapkan metode pembelajaran jarak jauh, 97,6% masyarakat setuju dengan proporsi penerapan belajar di rumah. Kemudian berbeda hasil yang di peroleh dengan responden para guru. Ternyata tidak semuanya siap dengan pembelajaran jarak jauh. Ada hasil survei 67,11% guru belum siap dengan mengoptimalisasi peran gadget. Tantangan pembelajaran jarak jauh banyak ditemui di lapangan, mulai dari jangkauan internet, peralatannya dan lain sebagainya. Strategi dari program tersebut menyediakan fasilitas pendukung (internet, gawai, listrik, laptop dan lain-lain) untuk menunjang pembelajaran dari rumah. Lebih baik juga dengan membuat skema atau model pembelajaran yang bisa dilakukan guru dan siswa yang tidak memiliki akses internet dengan memanfaatkan lingkungan rumah, atau memberikan pelatihan dan pendampingan manajemen pembelajaran jarak jauh (daring) baik dari sisi guru maupun murid dan mendorong guru menggunakan media komunikasi alternatif, khususnya media sosial”.
Eva dan Evi siswi MI Nurul Waton, Lombok Tengah, NTB, menuturkan bahwa, “Selama pandemi seperti ini, guru datang ke rumah. Bila ada tugas, maka guru akan datang ke rumah dalam satu kali seminggu. Mereka masih kesulitan dalam metode pembelajaran jarak jauh seperti ini, ada hanphone tapi tak ada kuota, ada quota gak ada sinyal”.
Di sisi lain, Seto Mulyadi yang juga pakar dan pemerhati anak mengatakan, “Semua anak pada dasarnya cerdas, maka itu hargai kecerdesan anak yang berbeda-beda. Prinsip mendidik anak agar senang dan menghilangkan rasa bosan di rumah, yang harus diterapkan yakni kasih sayang, keteladanan dari contoh-contoh yang nyata, komunikasi, apresiasi seperti acungan jempol pada anak dan bimbingan.
Pendidikan saat ini harus lebih ramah anak.Sehingga jangan terlalu dipaksakan anak-anak dalam bersekolah. Kekerasan dalam sekolah akan berdampak negatif pada karakter anak-anak, yang harus diperhatikan kembali adalah isi standar pendidikan mulai dari etika, estetika, iptek, nasionalisme dan kesehatan. Selain itu anak dari kecil jangan terlalu dihidangi teknologi canggih. Kembangkan komunikasi efektif dari guru ke orang tua dan anak. Sehingga orang tua menjadi fasilitator kepada anak dalam belajar”.
“Gawai atau gudget bisa menjerumuskan anak-anak ke ranah sikap negatif. Maka itu harus diimbangi dengan kegiatan-kegiatan yang menuntut psikomotorik maupun aktivitas yang bervariasi. Sehingga anak-anak mendapatkan pengalaman lain daripada gadget,” tutup Seto Mulyadi. (Fatry)