LAMONGAN lintasjatimnews – Kwartir Daerah (Kwarda) Hizbul Wathan (HW) Lamongan berupaya meneguhkan sikap nasionalisme para pandu HW guna menjaga ideologi bangsa. Hal itu salah satunya dilakukan dengan menghelat Seminar Kebangsaan “Implementasi Wawasan Kebangsaan Dalam Kerangka NKRI”, Ahad (13/03/2022) bertempat di Hotel Mahkota.
Dalam seminar kebangsaan itu, hadir Anggota FPAN DPRD JATIM Drs. Amar Saifuddin, MM dan Pusat Studi Politik The Republic Institute Dr. Sufyanto, S. Ag., MSi. sebagai pembicara. Seminar ini diikuti 125 peserta.
Direktur Pusat Studi Politik The Republic Institute Sufyanto menjelaskan, Hukum bisa diatur oleh politik, ekonomi bisa diatur oleh politik dan lain sebagainya. Maka dia menekuni dunia politik. Itulah yang mendasari dia mengambil pilihan hidup di dunia politik.
Semua orang ingin menjabat sesuatu walaupun orang itu menjadi komisaris BUMN, mau jadi menteri pintunya juga politik, mau jadi kepala Dinas itu pintunya juga politik dan lain sebagainya.
“Kalau kita lihat problem kita saat ini adalah kita harus konsisten kepada cita-cita pendahulu kita yang menetapkan konstitusi. Kita punya ancaman yang serius yaitu pada problem kebangsaan saat ini. Justru sesungguhnya ancaman tidak dari asing tetapi justru ancamannya dari dalam sendiri,”paparnya.
Dosen Teori Politik pada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu menuturkan, Tetapi ada ancaman yang cukup serius contohnya ancaman kepada konstitusi soal orang yang kepingin menunda-nunda pemilu padahal pemilihan umum itu sesuai konstitusi pasal 1 ayat 2 itu menjadi hak nya rakyat soal kebangsaan kita. Lalu di pasal 7 pemilihan presiden itu presiden hanya boleh dipilih satu kali dalam lima tahun lalu di tambah satu kali lagi artinya dua periode. Lalu di pasal 22 E UUD 45 ayat 1 menyatakan pemilu itu harus dilaksanakan 5 tahun sekali.
Tidak ada lembaga yang bisa mengubah konstitusi kecuali adalah MPR. MPR itu dalam mengubah konstitusi namanya adalah amandemen yang harus dihadiri dua per tiga dari seluruh anggota. Mengubah konstitusi itu adalah sebuah ancaman berat tetapi karena mereka mempunyai posisi cenderung sehingga tidak beranggapan mempunyai ancaman yang serius di mata publik itu semua melebihi cara-cara teroris. Karena mereka mau merubah peraturan yang sangat fundamental.
“Wawasan kebangsaan itu bukan hanya punya milik rakyat tetapi harus punya milik semua orang. Itu terjadi karena murni kekuasaan dan didorong karena panglima di negeri ini adalah politik,” tuturnya.
Kalau kekuasaan tanpa batas itu tidak sesuai dengan negeri ini. Indonesia itu bukan kata benda tapi kata kerja terus menjadi Indonesia. Kita tidak boleh melihat Indonesia itu dari kata benda melainkan harus kita lihat dari kata kerja.
“Indonesia itu seperti senyawa-senyawa kemudian menjadi kumpulan senyawa dan menjadi tunggal. Artinya kalau kebangsaan itu harus utuh melihat konteks bangsa ini. Di Indonesia ini banyak suku ragam tapi bagamana itu semua harus kita jumpakan bukan untuk kita kompetisikan,” pungkasnya.
Reporter: Fathan Faris Saputro