ABUNG SEMULI lintasjatimnews – Pengalaman hidup memang tidak bisa diukur dengan harga. Karena itu, Riah Khoirul Annisa bersyukur bisa belajar banyak hal tentang ilmu bahasa. Perempuan asal Dusun Cendrawasih, RT/RW 003/002 Desa Semuli Jaya, Kecamatan Abung Semuli, Kabupaten Lampung Utara itu juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan aktif menjadi pegiat Rumah Baca Api Literasi (RBAL).
“Kesukaan saya belajar bahasa dimulai ketika di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada saat itu, tepatnya kelas sebelas (XI) ada seorang guru bahasa Indonesia bernama Bu Anas. Beliau adalah salah seorang guru yang selalu mengajarkan dan membiasakan murid-muridnya untuk menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Pada faktanya memang betul, masyarakat saat ini terbiasa membenarkan yang lazim,” ujar Annisa kepada lintasjatimnews (19/2/2022).
Dari situ, banyak sekali persepsi-persepsi yang masih salah soal bahasa Indonesia. Contohnya adalah soal kata baku dan tidak baku. Kita tentunya sering mendengar kata berikut ini: respon, contek, handal, dan standarisasi. Kata-kata ini dinilai biasa dan memang benar seperti itu. Padahal, berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata yang baku adalah respons, sontek, andal, dan standardisasi.
Selain soal kata baku, ada banyak hal lagi yang menarik dan unik soal bahasa Indonesia. Misalnya saja padanan kata. kebanyakan orang Indonesia sebagai penutur asli Indonesia saat ini sepertinya cenderung fasih melafalkan kata-kata dari bahasa asing. Mungkin saja agar terlihat keren dan kebarat-baratan. Namun hal ini tentunya adalah bentuk tidak cinta tanah air.
Awal mula Annisa di bangku kuliah dia memiliki dosen yang fasih sekali berbahasa Inggris (Karena beliau memang menekuni bidang bahasa Inggris). Di kelas, beliau sering memberikan motivasi kepada dia untuk selalu mencintai bahasa Indonesia seantusias apapun kita belajar bahasa asing. Sebab bahasa Indonesia pun sudah menjadi mata pelajaran di beberapa sekolah di luar negeri, dan ada yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Fakta unik, bukan? Kemudian dia juga melihat dan merasakan fenomena bagaimana bahasa Indonesia itu berkembang, seperti misalnya kosa kata baru yang saat ini akrab di masyakarat seperti ‘mager’, yang saat ini sudah masuk dalam KBBI. Dia rasa sedikit hal-hal yang aku sampaikan di atas itu cukup menarik dan unik untuk mempelajari bahasa Indonesia. Namun sayang, masih banyak masyarakat yang tidak peduli akan hal itu, dan generasi milenial yang lebih mengidolakan bahasa asing. Padahal, ada yang namanya trigatra bangun bahasa, yakni utamakan bahasa Indonesia, Lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa Asing.
“Kalau soal manfaat belajar bahasa, tentu banyak. Kita sama-sama tau kalau bahasa adalah alat komunikasi. Jadi kalau tidak dipelajari, bagaimana kita bisa membangun komunikasi dengan baik terkhusus bahasa Indonesia, dipelajari saja terkadang masih banyak yang tak acuh, apalagi kalau tidak dipelajari,” terangnya.
Sebagai generasi muda yang nasionalis, mendalami bahasa Indonesia adalah bentuk dari rasa cinta tanah air. Sebenarnya banyak sekali kosa kata bahasa Indonesia yang indah dan menarik, hanya saja remaja saat ini lebih percaya diri saat menggunakan bahasa asing sebab dampak dari globalisasi. Tidak salah, namun akan lebih baik lagi jika tidak melupakan bahasa kita. Selain itu, semakin sering belajar bahasa dan menerapkannya, kecakapan berbahasa akan semakin baik. Mungkin saja dalam hal karya tulis, atau saat berbicara.
Manfaat lain menurut dia adalah saat kita mencoba untuk membangun komunikasi baik dalam tulisan atau lisan, kita sendiri akan merasa seperti bijaksana. Memberikan kata-kata yang baik, yang sesuai kaidah, tentunya akan memancarkan kharism tersediri bagi kita sebab kita tidak ‘asal-asalan’.
Semua bukan soal memilih kata baku dan tidak baku dalam berbicara. Kita tidak harus menggunakan bahasa baku setiap kali berkomunikasi. Yang perlu digarisbawahi adalah wawasan dan pemahaman kita terkait bahasa Indonesia yang baik dan sesuai kaidah. Bahasa Indonesia yang baik adalah Bahasa yang digunakan sesuai konteks, seperti kepada siapa kita berbicara dan kapan berbicara. Sementara bahasa Indonesia yang sesuai kaidah ialah bahasa yang mengacu pada Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
“Kalau dari saya, berhubung kondisi masih dalam situasi pandemi dan mengakibatkan banyak kegiatan yang dibatasi, saya sendiri merasa kurang maksimal dalam melaksanakan tugas dan kegiatan. Penyebabnya selain situasi dan kondisi ialah saya harus membagi pikiran dan waktu sebab saya mengikuti salah satu program Kampus Merdeka dari Kemendikbud yang dalam kegiatan itu pun saya dituntut untuk beradaptasi dengan banyak hal-hal baru, kemudian juga urusan tugas-tugas kuliah, dan juga membantu mengurusi warung makan sederhana milik kedua orang tua saya di rumah. Belum lagi melakukan kewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah,” ujarnya.
Hal-hal inilah yang terkadang menjadi sebab mengapa jarak tempuh menjadi sebuah masalah bagi dia (karena kalau kegiatan pastikan masih di sekitar kampus). Memang nggak banyak yang dia kerjakan, tapi dia rasa itu sudah saya lakukan sesuai kapasitas dia. Kalau soal orang lain lebih hebat dan lebih sibuk, memang Allah kasih mereka kekuatan lebih.
“Tapi saya masih menyempatkan diri untuk dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan, meskipun tidak banyak. Karena terkadang saya juga tidak dapat izin orang tua dengan berbagai pertimbangan pada suatu kondisi. Tetapi hal-hal tersebut tidak membuat ringsek kegemaran saya di bidang organisasi. Saya masih ingin berkontribusi lebih, tetapi menyesuaikan dengan keadaan yang ada. Sudah banyak kegiatan yang terlaksana di bidang SPM,” pungkasnya. (Fathan Faris Saputro)