SEMARANG lintasjatimnews – Muhammad Shofi Mubarok, S.Sos, M.Pd adalah santri yang ditempa oleh tradisi kitab kuning, kini tampil sebagai sosok wisudawan sekaligus saksi hidup di tengah riuhnya polemik media sosial.
KH. Ahmad Hisyam Syafa’at, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, pernah berpesan dengan tegas “Sing Penting Ngaji” (Yang Penting Mengaji). Prioritas utama seorang anak atau pemuda adalah mengaji, mendalami ilmu agama. Ilmu umum (sekolah formal) itu baik dan dianggap sebagai belajar, tetapi mengaji tidak boleh ditinggalkan.
“Jika seseorang sungguh‑sungguh mengaji, kelak hidupnya akan mulia bak Raja atau Ratu. Santri terkadang terlihat seperti pengangguran, padahal hakikatnya tidak. Jika sungguh‑sungguh mengaji, hidup akan mulia,” pesan KH. Ahmad Hisyam Syafa’at,
Wejangan ini menjadi suluh perjalanan Muhammad Shofi Mubarok. Ia menempuh pendidikan umum hingga meraih gelar S.Sos dan Magister Pendidikan, namun tak pernah melepaskan identitas santrinya.
Semangat pengabdiannya telah terpupuk sejak dini. Sejak masih berstatus santri di pesantren, ia telah berkhidmah mengajar di Madrasah Diniyah. Rutinitas mengaji kitab kuning, tabarruk kepada para kiai, serta ketulusan mengamalkan ilmu kepada santri-santri adik kelasnya yang sejatinya membentuk karakternya hingga kini.
Perjalanan hidupnya adalah bukti nyata bahwa dawuh pengasuh bukan sekadar kata, melainkan janji yang terbukti. Ilmu umum ia rengkuh, tetapi ngaji tetap menjadi ruh. Dan benar adanya : hidupnya kini mulia, dihormati masyarakat, dipercaya sebagai wasilah doa penjaga cuaca, dimintai doa pengobatan, dan kini berdiri sebagai saksi kebenaran.
Hafalan Kitab Kuning: Fondasi Intelektual
Kecerdasannya terasah melalui deretan kitab turats yang ia kuasai dalam waktu singkat : Fiqh & Tauhid (Safinatun Najah, Tanwirul Hija, Jauharut Tauhid), Nahwu & Shorof (Jurumiyyah, Imriti, Alfiyah Ibnu Malik, Awamil Jurjani, Qowa’idul I’rob, Tashrif Lughowi), Hadits & Musthalah (Arba’in Nawawi, Nadzom Baiquniyah), Balaghah (Sullamul Munawroq, Jauharul Maknun), Ushul Fiqh & Tafsir (Nadzom Al‑Waroqot, Mandzumah Azzamzami fi Ulum al‑Tafsir)
Selepas meraih gelar S.Sos dari Prodi Bimbingan dan Konseling Islam di IAIDA Blokagung Banyuwangi, Shofi sempat mengajar di sekolah formal. Namun, panggilan hatinya membawanya kembali fokus sepenuhnya ke Madrasah Diniyah—melanjutkan khidmah yang telah ia rintis sejak di pesantren.
Jalan akademiknya tak selalu mulus. Ia pernah dinyatakan lolos administrasi CPNS dan bersiap ujian, namun takdir berkata lain : KTP-nya hilang di saat krusial. Ia gagal seleksi akibat kendala teknis tersebut. Namun, kegagalan itu justru ia maknai sebagai “pintu darurat” menuju ruang kemuliaan yang lebih besar.
“Saya hanya berusaha tawakkal. Ternyata, kegagalan di satu pintu adalah cara Allah menggiring saya ke pintu Magister Unissula,” ungkapnya bersahaja.
Berbekal doa orang tua dan dukungan sahabat karibnya, M. Yahya Ghozali—yang kala itu meraih beasiswa Magister di PTIQ Jakarta—ia memantapkan langkah. Melalui istikharah sebagai kompas, ia melanjutkan S2 Pendidikan Agama Islam di Unissula Semarang dan lulus dalam waktu kurang dari dua tahun.
Wisuda Bersama Gus Miftah : Satu Jurusan
Aula Unissula Semarang dipadati ribuan wisudawan. Di antara barisan toga hitam, tampak sosok dai kondang, Gus Miftah, berdiri sejajar dengan mahasiswa lainnya.
Momen ini menjadi sejarah tersendiri bagi Shofi. Ia dan Gus Miftah berada di jurusan yang sama—Magister Pendidikan Agama Islam—dan diwisuda dalam prosesi yang sama.
Ketika sebagian warganet meragukan keabsahan gelar sang dai dan menebar fitnah seolah gelar itu hanya simbolik, Muhammad Shofi Mubarok hadir sebagai saksi mata. Dengan penuh ketawadhu’an, ia menegaskan fakta lapangan :
- Bahwa prosesi wisuda Gus Miftah berjalan resmi, sah, dan sesuai prosedur akademik.
- Bahwa beliau benar‑benar hadir fisik, mengenakan toga, dan namanya dipanggil di hadapan ribuan saksi.
- Bahwa Gus Miftah sendiri yang memimpin doa penutup di ujung prosesi wisuda.
Wisuda Desember 2025 digelar di tengah musim penghujan. Lazimnya, langit Semarang di bulan ini digelayuti mendung pekat atau hujan deras yang memicu banjir di akses menuju kampus Unissula.
Namun, hari itu berbeda. Langit cerah, jalanan kering, dan prosesi berjalan khidmat. Masyarakat yang hadir menyaksikan fenomena ini dengan takjub. Di balik layar, Muhammad Shofi Mubarok dipercaya menjalankan ikhtiar batin sebagai “penjaga cuaca”. Melalui doa dan dzikir, ia bermunajat agar pintu langit “ditutup” sementara, memberi ruang bagi ribuan wisudawan merayakan momen bersejarah
Kemampuan spiritual ini tidak muncul tiba-tiba. Ia ditempa melalui pengabdian tulus sebagai abdi maqom KH. Mukhtar Syafa’at. Di sela-sela rutinitas membersihkan area makam dan melayani peziarah, kepercayaan masyarakat mulai tumbuh :
- Pawang Cuaca: Menjaga kelancaran acara besar dari gangguan hujan.
- Doa Pengobatan: Menjadi wasilah kesembuhan dan ketenangan hati.
- Bahtsul Masail: Bukan sekadar peserta, ia aktif dalam musyawarah kitab, duduk bersama para kiai dari lingkup pesantren hingga tingkat Jawa–Madura.
Meski dari luar terlihat santai, Shofi sejatinya terus bergerak dalam berbagai lini yakni sebagai : Guru Madrasah Diniyah yang menyalakan pelita ilmu, Marketing bus pariwisata dan biro umroh, mengantar perjalanan lahir dan batin, Praktisi Ruqyah Aswaja dan wasilah doa cuaca, Abdi setia di maqom KH. Mukhtar Syafa’at.
Jodoh: Menanti dalam Ketaatan
Di balik deretan pencapaiannya, Shofi dengan rendah hati mengakui bahwa dirinya masih sendiri. Baginya, kesendirian bukanlah kekurangan, melainkan ruang hening untuk berdoa. Ia mengibaratkan dirinya seperti bulan yang menanti bintang, atau kitab kosong yang menanti ditulisi ayat cinta. Ia membuka pintu ta’aruf dengan keikhlasan, menanti takdir terbaik dari Allah.
Kisah Muhammad Shofi Mubarok adalah manifestasi dari hikmah Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam *Al-Hikam “Arih nafsaka minat‑tadbir, fa ma qooma bihi ghayruka ‘anka la taqum bihi linafsik.” (Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengatur (dunia), sebab apa yang sudah dijamin/diatur oleh Allah untukmu, tidak perlu engkau sibuk mengaturnya sendiri.)
Ia merasakan betul makna tadbir ini. Kegagalan CPNS karena KTP hilang bukanlah kecelakaan, melainkan cara halus Tuhan membelokkan langkahnya menuju keberkahan S2 dan pertemuan dengan para ulama.
Muhammad Shofi Mubarok adalah cermin santri masa kini: berpegang teguh pada tradisi, namun mampu beradaptasi dengan prestasi. Dari pesantren ke podium wisuda, dari kitab kuning ke toga magister. Ia membuktikan bahwa wejangan “Sing Penting Ngaji”adalah kunci pembuka pintu kemuliaan dunia dan akhirat.
Reporter Fathurrahim Syuhadi








