Sulistiyo, Penggembala Kambing hingga Menjadi Guru Inspiratif

Listen to this article

KENDAL lintasjatimnews – Hidup sederhana di desa kecil tak menghalangi langkah Sulistiyo untuk menjemput cita-cita. Lahir di Dusun Taruman, Desa Singorojo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, pada 30 November 1980. Sulistiyo tumbuh dalam keluarga yang hidupnya pas-pasan.

Namun, di balik keterbatasan itu, tersimpan semangat besar untuk terus belajar dan bermanfaat bagi sesama.

“Setelah kesulitan ada kemudahan,” demikian motto hidupnya yang diambil dari QS. Al-Insyirah. Ayat itu menjadi pegangan dalam setiap langkah hidupnya, dari masa kecil sebagai penggembala kambing hingga kini menjadi seorang guru yang membimbing banyak anak di desanya.

Seusai lulus Sekolah Dasar, keterbatasan ekonomi membuat Sulistiyo tidak bisa melanjutkan sekolah. Orang tuanya hanya mampu membelikannya beberapa ekor kambing untuk digembalakan. Sejak itu, hari-harinya diisi dengan menggiring kambing ke padang rumput di sekitar desanya.

Meski hidupnya jauh dari gemerlap kota, di tengah kesunyian ladang ia belajar tentang tanggung jawab, disiplin, dan ketekunan. “Menggembala kambing itu sekolah pertama saya,” kenangnya suatu kali. Dari rutinitas sederhana itu, ia belajar bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati proses.

Kesempatan emas datang ketika pemerintah mencanangkan program Wajib Belajar 9 Tahun. Di desanya berdiri MTs NU 22 Singorojo, dan Sulistiyo pun menjadi salah satu murid angkatan pertama. Setiap pagi ia berangkat sekolah, sore harinya kembali ke padang rumput untuk menggembala kambing. Kelelahan tak membuatnya menyerah. Ia sadar, hanya dengan pendidikan nasib hidupnya bisa berubah.

Menapaki Jalan Pendidikan

Semangat belajarnya berbuah manis. Ia melanjutkan pendidikan ke MA NU 04 Al-Ma’arif Boja dan lulus dengan hasil membanggakan. Setelah itu, ia sempat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kerja jurusan Administrasi Bisnis, namun hatinya tetap terpaut pada dunia pendidikan.

“Sejak remaja saya bermimpi menjadi guru. Saya ingin anak-anak di desa punya kesempatan belajar lebih baik dari saya dulu,” ujarnya.

Mimpi itu membawanya ke Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo, di mana ia menempuh studi S1 Pendidikan Agama Islam (PAI) hingga meraih gelar S.Pd.I. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan ke jenjang Magister Pendidikan Agama Islam di kampus yang sama. Dalam studinya, ia menulis proposal berjudul “Sinergitas Warga Madrasah dalam Meningkatkan Karakter Siswa Peduli Lingkungan melalui Program Adiwiyata di MTs Arrahmat Sukorejo.”

Penelitian itu menjadi bukti kepeduliannya terhadap pendidikan karakter dan pelestarian lingkungan, dua hal yang menurutnya saling berkaitan. “Anak yang peduli lingkungan biasanya juga memiliki karakter disiplin dan bertanggung jawab,” katanya.

Mengabdi untuk Desa, Mendidik dengan Hati

Usai menyelesaikan pendidikan, Sulistiyo memilih kembali ke kampung halamannya. Ia mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) sekaligus membina TPQ dan MADIN di lingkungannya. Bagi banyak orang, menjadi guru di desa mungkin bukan pekerjaan yang menjanjikan, tetapi bagi Sulistiyo, di sanalah letak kebahagiaan sejati.

Ia dikenal sebagai guru yang sabar dan telaten. Murid-muridnya menganggapnya sebagai sosok ayah sekaligus sahabat. Ia mengajar dengan pendekatan yang lembut namun tegas, selalu menanamkan nilai-nilai akhlak dan kepedulian sosial. “Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran, tetapi juga menanamkan semangat hidup,” tuturnya.

Keluarga Sederhana, Penuh Kehangatan

Dalam kehidupan pribadinya, Sulistiyo dikenal sebagai suami dan ayah yang penuh tanggung jawab. Ia menikah dengan Cholifah, yang selalu mendampinginya dalam suka dan duka. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua anak yakni Irsyadul Faiz, siswa kelas XI MA dan Rihadatul Ais, siswi kelas 3 MI.

Keduanya menjadi penyemangat dalam perjuangan hidupnya. “Saya ingin anak-anak saya merasakan pendidikan yang lebih baik daripada saya dulu,” ujarnya dengan mata berbinar.

Teladan dari Desa untuk Negeri

Kini, nama Sulistiyo dikenal di lingkungannya sebagai guru yang berdedikasi dan rendah hati. Ia menjadi panutan bagi para murid dan masyarakat sekitar. Perjalanannya dari seorang penggembala kambing hingga menjadi pendidik yang dihormati membuktikan bahwa latar belakang sederhana bukanlah penghalang untuk meraih cita-cita.

Kisah hidupnya sejalan dengan sabda Rasulullah SAW “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Bagi Sulistiyo, kesuksesan bukan tentang harta atau jabatan, tetapi tentang seberapa banyak kebaikan yang bisa diwariskan kepada orang lain. Dan lewat dunia pendidikan, ia telah membuktikan bahwa ilmu yang diajarkan dengan hati akan melahirkan perubahan nyata bagi murid, masyarakat, dan masa depan bangsanya.

Reporter Fathurrahim Syuhadi