LAMONGAN lintasjatimnews – Agama hadir sebagai solusi, bukan membebani. Namun, kadang-kadang praktik beragama terkungkung oleh tradisi budaya yang tidak selalu relevan. Demikian disampaikan Dr Ahmad Munir pada Pengajian Jumat Pagi (Jumpa) masjid At Taqwa Babat, Jumat (19/9/2025)U
Menurut dosen UIN (Universitas Islam Negeri) Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo ini bahwa kemiskinan materi sering kali diawali dari kemiskinan sumber daya manusia dan mental. Dunia pendidikan menjadi contoh nyata, di mana rendahnya kualitas SDM mempengaruhi kemampuan generasi muda menghadapi tantangan ekonomi.
“Nilai tukar mata uang yang melemah, misalnya 1 dolar Singapura sama dengan 13 ribu rupiah, menambah beban ekonomi masyarakat,” jelasnya
Lebih lanjut pria kelahiran Brondong Lamongan ini mengungkapkan dalam konteks ini, agama menjadi pegangan yang menuntun manusia untuk ber-muhasabah. Optimisme menjadi kunci menghadapi tantangan dan ujian hidup.
“Imam Syafii mengingatkan bahwa besarnya pahala sebanding dengan beratnya ujian yang kita terima. Oleh karena itu, kesabaran dan ketekunan adalah modal penting dalam mencari rezeki yang berkah,” ujar penulis produktif ini
Zakat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga instrumen sosial yang membawa kemanfaatan nyata bagi penerimanya. Dalam praktiknya, zakat harus memperhatikan kesejahteraan penerima, sehingga harta yang dibagikan mampu menutupi kebutuhan pokok dan meningkatkan kualitas hidup.
Misalnya, membandingkan harga beras 3 kg dengan kurma 3 kg; zakat dalam bentuk beras mungkin lebih tepat bagi keluarga yang membutuhkan pangan harian, sedangkan kurma bisa jadi lebih bernilai simbolik dan nutrisi. Pemilihan bentuk zakat yang tepat sangat mempengaruhi dampak positifnya.
“Dengan memahami zakat sebagai sarana kemanfaatan, menjaga kehalalan rezeki, dan berpegang pada prinsip-prinsip agama, masyarakat dapat menumbuhkan kesejahteraan spiritual dan materi,” tegas Wakil Ketua PDM Ponorogo ini
Lebih lanjut, penulis buku Teologis Dinamis ini mengungkapkan ada lima prinsip penting dalam mencari rezeki halal dan diridhoi Allah. Pertama, jangan mengakhirkan hak Allah demi pekerjaan, seperti menunda shalat; kedua, jangan mencampuradukkan jalan halal dengan yang haram.
Ketiga, hindari menyakiti atau menyengsarakan orang lain dalam mencari penghasilan; keempat, lakukan pekerjaan bukan semata untuk diri sendiri atau riya, tetapi untuk meraih ridlo Allah Swt; dan kelima, pahami bahwa harta yang diperoleh adalah hasil ikhtiar, bukan karena kehebatan diri semata, melainkan karena izin dan berkah dari Allah.
“Optimisme, disiplin, dan etika kerja yang selaras dengan ajaran agama menjadi fondasi penting untuk menghadapi ujian hidup dan mencapai keberkahan dunia serta akhirat,” pungkas Doktor lulusan UIN Syarif Hidayutullah Jakarta ini
Reporter Fathurrahim Syuhadi