LAMONGAN lintasjatimnews – Guru adalah tiang peradaban. Dari mulut dan keteladanannya lahir generasi yang akan menentukan arah masa depan bangsa. Sejak dahulu, para ulama, cendekiawan, dan tokoh bangsa menekankan betapa pentingnya kedudukan guru.
Menghormati guru bukanlah sekadar kewajiban personal, tetapi merupakan langkah besar dalam menjaga keberlanjutan ilmu dan kelestarian peradaban.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Barang siapa ingin dunia, maka ia harus berilmu. Barang siapa ingin akhirat, maka ia harus berilmu. Dan barang siapa ingin keduanya, maka ia harus berilmu.”
Namun, ilmu tidak datang begitu saja. Ia membutuhkan perantara, yaitu seorang guru. Maka, menghormati guru sama dengan menghormati ilmu, dan menghargai ilmu berarti menjaga peradaban bangsa.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini bukan hanya menyebut ulama sebagai ahli hukum atau agama, tetapi juga mencakup para pendidik yang meneruskan misi kenabian: mendidik umat dengan ilmu dan akhlak. Guru, dalam konteks ini, adalah bagian dari mata rantai suci pewarisan ilmu.
Jika seorang murid kehilangan rasa hormat pada gurunya, maka ia akan kehilangan adab dalam menuntut ilmu. Hilangnya adab ini berakibat pada hilangnya keberkahan ilmu. Sebaliknya, murid yang menghormati gurunya bukan hanya memperoleh ilmu, tetapi juga keberkahan yang menghidupkan peradaban.
Imam Malik, seorang ulama besar Madinah, pernah menolak membaca hadis ketika melihat suasana masjid tidak tertib. Ia menegaskan bahwa ilmu harus disampaikan dalam suasana penuh adab. Bahkan, beliau dikenal sangat menghormati gurunya, Imam Ja’far ash-Shadiq, sampai-sampai beliau tidak berani menggerakkan kaki di hadapan gurunya.
Kisah ini menunjukkan bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, adab kepada guru selalu ditempatkan di atas kecerdasan. Ulama klasik sepakat: siapa yang ingin berhasil menuntut ilmu, hendaknya ia mendahulukan penghormatan kepada guru.
Dalam konteks kebangsaan, guru tidak hanya mendidik anak-anak untuk sekadar bisa membaca, menulis, atau berhitung. Lebih dari itu, guru menanamkan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, dan akhlak mulia. Tanpa guru yang tulus dan berwibawa, sebuah bangsa akan kehilangan arah moralnya.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menegaskan: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Filosofi ini menekankan bahwa guru adalah teladan di depan, penggerak di tengah, dan pemberi semangat di belakang. Tanpa peran guru, mustahil bangsa Indonesia dapat meraih kemerdekaan, apalagi mempertahankannya hingga hari ini.
Menghormati guru berarti menjaga akar kebangsaan. Sebab, guru adalah pejuang kebudayaan dan kemerdekaan. Mereka melestarikan bahasa, seni, sejarah, sekaligus mengajarkan nilai perjuangan dan nasionalisme.
Di era digital, banyak orang lebih sibuk mencari informasi dari internet daripada belajar langsung dari guru. Padahal, informasi berbeda dengan ilmu. Informasi bisa diperoleh dari mana saja, tetapi ilmu membutuhkan bimbingan guru agar tidak salah arah.
Generasi muda hendaknya sadar bahwa menghormati guru bukan hanya soal sopan santun, melainkan fondasi membangun peradaban. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Ayat ini menunjukkan bahwa derajat orang berilmu dimuliakan oleh Allah, dan guru sebagai penyampai ilmu layak mendapat penghormatan tinggi.
Menghormati guru sama artinya dengan menghormati ilmu. Menghormati ilmu sama dengan menjaga peradaban bangsa. Ulama klasik menekankan pentingnya adab terhadap guru, sementara para tokoh bangsa menegaskan peran guru dalam membangun kemerdekaan.
Hari ini, ketika bangsa menghadapi tantangan global, kita harus kembali meneguhkan penghormatan kepada guru. Mari kita ucapkan terima kasih kepada mereka, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan: meneladani ilmu, menjaga akhlak, dan meneruskan perjuangan mereka untuk membangun bangsa yang beradab.
Reporter Fathurrahim Syuhadi