LAMONGAN lintasjatimnews – Hidup manusia sejatinya adalah perjalanan menuju Allah. Setiap detik adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, memperbanyak amal, dan mempererat hubungan dengan sesama.
Dorongan untuk menjadi lebih baik bukan hanya urusan dunia, tetapi lebih penting lagi menyangkut urusan akhirat dan hubungan sosial yang sehat.
Bayangkan suatu hari kita terbangun dan menyadari bahwa waktu kita di dunia telah habis. Tak ada lagi kesempatan untuk beribadah, memperbaiki kesalahan, atau meminta maaf pada orang yang pernah kita sakiti. Di saat itu, penyesalan tak akan berguna.
Itulah sebabnya, selama nafas ini masih berhembus, kita harus punya dorongan yang kuat untuk menjadi lebih baik—bukan hanya demi kesuksesan dunia, tetapi terutama untuk bekal akhirat dan hubungan kita dengan sesama manusia.
Allah Swt berfirman “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133)
Perintah “bersegera” menunjukkan bahwa waktu kita singkat. Menunda perbaikan diri sama saja menunda keselamatan.
Rasulullah Saw bersabda “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad)
Artinya, perbaikan diri tidak berhenti pada ibadah pribadi saja. Ia harus melahirkan manfaat nyata untuk orang lain.
Imam al-Ghazali pernah berkata, “Dunia ini hanya tempat singgah, bukan tujuan akhir. Bekalilah dirimu untuk perjalanan panjang menuju akhirat.” Bekal itu bukan hanya shalat, puasa, dan zikir, tetapi juga senyum, tolong-menolong, dan memaafkan.
Karena dalam hidup ini, kita bukan hanya makhluk yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah), tetapi juga makhluk sosial yang harus menjaga hubungan dengan manusia (hablum minannas). Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial harus berjalan beriringan.
Ulama besar, Sayyid Quthb, pernah mengatakan, “Masyarakat yang baik tidak lahir dari orang-orang yang hanya sibuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi dari mereka yang berusaha memperbaiki dirinya sambil memperbaiki orang lain.”
Maka, seorang Muslim sejati bukan hanya fokus pada kesalehan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kebaikan sosial. Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Hidup tanpa dorongan untuk menjadi lebih baik adalah hidup yang statis. Padahal, setiap hari kita sejatinya bergerak menuju ajal. Rasulullah Saw mengingatkan: “Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).
Hidup ini seperti menulis buku. Setiap hari kita menulis satu halaman. Jika kita terus memperbaiki diri, maka buku kehidupan kita akan penuh kisah indah yang menjadi amal jariyah. Tetapi jika kita lalai, halaman-halaman itu bisa kosong atau bahkan dipenuhi catatan buruk.
Mari kita isi hidup dengan dorongan yang kuat untuk berubah, menjadi lebih baik hari ini daripada kemarin. Tidak ada jaminan kita akan sampai esok.
Urusan akhirat menjadi prioritas, namun hubungan sosial juga tidak boleh diabaikan. Dengan menyeimbangkan keduanya, kita akan menjadi pribadi yang diridhai Allah, dicintai manusia, dan meninggalkan jejak kebaikan yang abadi.
Selagi masih ada kesempatan, jadikan diri kita hamba yang diridhai Allah, bermanfaat bagi sesama, dan meninggalkan jejak kebaikan yang abadi.
Reporter Fathurrahim Syuhadi