LAMONGAN lintasjatimnews – Saatnya bangsa ini membuktikan bahwa penghormatan terhadap guru tidak berhenti pada slogan. Tetapi diwujudkan dalam kebijakan dan tindakan nyata yang menjamin kehidupan mereka lebih layak dan bermartabat. Hal ini mengingat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Ungkapan ini memang sarat makna. Menunjukkan pengabdian tulus para pendidik yang mendarmabaktikan hidupnya demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, di balik penghormatan itu, terdapat kenyataan yang menyedihkan: ketimpangan kesejahteraan guru di Indonesia masih tinggi dan berpengaruh langsung terhadap motivasi dan kualitas pengajaran.
Meski guru memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan masa depan generasi bangsa, belum semua guru diperlakukan secara adil dan manusiawi, terutama dalam hal kesejahteraan.
Ketimpangan ini menjadi tantangan serius yang jika tidak ditangani segera, akan berdampak pada merosotnya mutu pendidikan secara keseluruhan.
Namun di sisi lain, ribuan guru honorer, guru madrasah swasta, dan guru di daerah terpencil masih mengalami ketimpangan kesejahteraan yang sangat nyata. Banyak dari mereka menerima honor di bawah standar kelayakan.
Bahkan ada yang hanya dibayar seratus hingga tiga ratus ribu rupiah per bulan. Di sejumlah madrasah swasta, guru harus mengajar di beberapa sekolah sekaligus hanya demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketimpangan ini menjadi jurang sosial dan psikologis antara guru-guru yang sejahtera dan yang tidak. Padahal, mereka memikul beban dan tanggung jawab yang sama: mendidik generasi bangsa.
Kesejahteraan yang tidak memadai secara langsung memengaruhi motivasi kerja guru. Guru yang hidup dalam tekanan ekonomi cenderung sulit berkonsentrasi, kurang semangat, dan tidak memiliki cukup energi untuk berinovasi.
Dalam kondisi seperti itu, sulit bagi mereka untuk menjadi guru yang kreatif, menyenangkan, apalagi inspiratif.
Di sisi lain, guru yang mendapatkan dukungan kesejahteraan yang layak, umumnya lebih fokus, lebih bahagia dalam menjalankan tugas, dan berani mencoba pendekatan-pendekatan pembelajaran baru. Kesejahteraan bukan soal kemewahan, tetapi kebutuhan dasar agar guru bisa mengajar dengan martabat.
Kurangnya motivasi karena rendahnya kesejahteraan juga berdampak pada tingginya angka perpindahan profesi. Banyak lulusan keguruan yang akhirnya tidak menjadi guru karena menganggap profesi ini tidak menjanjikan secara ekonomi. Ini tentu menjadi ironi di tengah kebutuhan guru profesional yang terus meningkat.
Guru-guru di sekolah swasta, khususnya madrasah non-negeri, adalah kelompok yang paling rentan. Mereka tidak hanya menerima honor rendah, tetapi juga seringkali tidak memiliki jaminan sosial, asuransi, atau akses pelatihan yang memadai.
Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti sertifikasi karena terbatasnya kuota dan ketatnya prosedur administratif.
Pemerintah memang telah membuat berbagai upaya seperti program sertifikasi, tunjangan profesi, impashing, dan insentif daerah. Namun, implementasi kebijakan ini masih belum merata dan tidak cukup menjangkau seluruh guru, terutama di sektor non-formal dan swasta.
Banyak guru madrasah swasta yang belum terdata dalam sistem informasi guru nasional (SIMPATIKA), sehingga tidak mendapatkan akses insentif sebagaimana guru negeri.
Di sisi lain, masyarakat juga kerap kali mengukur guru dari hasil akademik semata, tanpa memperhatikan proses dan perjuangan mereka. Kurangnya penghargaan sosial turut menurunkan martabat guru di mata publik.
Ketimpangan kesejahteraan guru harus dipandang sebagai masalah struktural dan moral yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak: pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi profesi, hingga masyarakat umum.
Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
- Peningkatan anggaran pendidikan yang benar-benar menyentuh aspek kesejahteraan guru, bukan sekadar infrastruktur.
- Penataan ulang kebijakan sertifikasi agar lebih adil, transparan, dan menjangkau guru non-PNS dan madrasah swasta.
- Menggerakkan lembaga filantropi pendidikan untuk membantu guru-guru rentan secara ekonomi.
- Menumbuhkan budaya apresiasi terhadap guru di masyarakat, baik melalui media, komunitas, maupun kegiatan sekolah.
- Memberikan insentif khusus bagi guru di daerah terpencil dan kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
- Mengharapkan guru menjadi pendidik yang profesional, kreatif, dan penuh semangat tanpa menjamin kesejahteraan mereka, adalah harapan yang tidak adil. Guru adalah tulang punggung pendidikan bangsa. Maka sudah sewajarnya jika mereka diberikan penghargaan yang layak, baik secara finansial maupun sosial.
“Tidak akan ada murid hebat tanpa guru yang kuat. Dan tidak akan ada guru yang kuat jika kesejahteraannya terus diabaikan.”
Reporter Fathurrahim Syuhadi