Nabi Sedikit Makan, Kita Dikit-Dikit Makan

Listen to this article

LAMONGAN lintasjatimnews – Dalam berbagai riwayat yang otentik, kita menemukan bagaimana Rasulullah Saw. menjalani pola hidup yang sangat sederhana, termasuk dalam urusan makan. Dalam satu hadis disebutkan bahwa “Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas.” (HR. Tirmidzi).

Inilah prinsip hidup Rasulullah dalam menjaga kesehatan fisik dan spiritual. Makan secukupnya, bukan sepuasnya.

Bandingkan dengan kondisi kita saat ini. Fenomena “dikit-dikit makan” menjadi kebiasaan umum di tengah masyarakat modern. Baru duduk sebentar, langsung cari camilan. Baru lewat satu jam dari sarapan, tangan sudah meraih kue di toples. Pulang kerja sedikit lelah, langsung pesan makanan online. Buka media sosial, muncul iklan makanan, langsung tergoda.

Tidak salah memang menikmati rezeki, tetapi yang menjadi soal adalah saat kita kehilangan kendali dan menjadikan makan sebagai pelarian dari rasa bosan, stres, bahkan identitas sosial.

Gaya hidup konsumtif dan over-eating saat ini tidak sekadar soal kebiasaan, tapi telah menjelma menjadi semacam lifestyle yang dianggap wajar, bahkan diidolakan. Makan bukan lagi sekadar kebutuhan, tapi ajang eksistensi.

Media sosial penuh dengan unggahan foto makanan. Dari yang mewah di restoran bintang lima hingga jajanan kaki lima yang viral. Belum lagi munculnya tren mukbang—makan dalam jumlah besar sembari disiarkan langsung.

Padahal, Islam sejak awal telah memberikan petunjuk hidup yang lebih bermakna. Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.

Nabi Muhammad Saw. adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau sering kali menjalani hari-harinya dalam kondisi perut yang belum terisi. Dalam satu riwayat dari Aisyah r.a., disebutkan bahwa “Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang dari roti gandum selama dua hari berturut-turut.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, kekurangan makanan yang dialami Nabi bukanlah karena tidak mampu, tetapi pilihan hidup yang menunjukkan kepedulian, kesederhanaan, dan kedekatan dengan kaum fakir. Makan secukupnya adalah bagian dari kearifan hidup yang dipilih oleh seorang nabi yang mulia, bukan karena keterpaksaan, tetapi karena keutamaan.

Makan sedikit bukan berarti tidak sehat. Justru banyak penelitian modern yang mengkonfirmasi bahwa pola makan Nabi sangat sesuai dengan prinsip kesehatan modern. Pola intermittent fasting misalnya, yang kini sedang naik daun di kalangan pecinta gaya hidup sehat, sejatinya mirip dengan kebiasaan puasa Nabi dan gaya makan beliau yang tidak berlebihan.

Kebiasaan makan secukupnya memiliki banyak manfaat. Menjaga berat badan ideal, menghindari penyakit kronis seperti diabetes dan kolesterol, serta meningkatkan metabolisme tubuh. Lebih dari itu, makan secukupnya juga melatih jiwa untuk tidak rakus dan selalu bersyukur. Orang yang biasa hidup sederhana, akan lebih tahan dalam situasi krisis dan lebih peka terhadap penderitaan orang lain.

Sebaliknya, terlalu banyak makan bisa melemahkan semangat ibadah. Mematikan kepekaan sosial, dan menjadi pintu masuk berbagai penyakit hati dan jasmani. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa perut yang terlalu kenyang membuat hati menjadi keras dan malas dalam ketaatan.

Islam tidak melarang menikmati makanan. Bahkan dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan: “Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Maka, makanlah dengan adab dan rasa syukur. Makan bersama keluarga, berbagi dengan tetangga, menikmati setiap suap dengan doa dan kesadaran bahwa itu adalah nikmat yang tak ternilai.

Yang harus dibenahi adalah orientasi dan kendali. Jangan sampai makan menjadi pelarian dari masalah atau alat pamer di media sosial. Jangan sampai makanan menjadi berhala baru yang menggeser nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Nabi.

Kita hidup di zaman serba mudah. Klik satu tombol, makanan datang. Dapur-dapur rumah digantikan layanan pesan antar. Waktu makan bukan lagi tiga kali sehari, tapi bisa belasan kali karena mudahnya akses. Maka meneladani Nabi dalam hal makan bukan lagi soal mengikuti zaman kekurangan, tapi menjaga kesadaran di tengah kelimpahan.

Meneladani Nabi berarti menghidupkan spiritualitas dalam setiap aktivitas duniawi, termasuk saat makan. Berdoa sebelum makan, makan dengan tangan kanan, tidak mencela makanan, dan berhenti sebelum kenyang—semua ini bukan hanya adab, tapi juga cara menjaga ruhani dan fisik tetap sehat dan seimbang.

Kalimat “Nabi sedikit makan, kita dikit-dikit makan” adalah sindiran sekaligus pengingat. Bahwa keteladanan bukan sekadar dikenang, tapi dihidupkan. Mungkin salah satu bentuk revolusi spiritual paling sederhana saat ini adalah: mulai mengendalikan nafsu makan.

Karena dari perut yang tidak penuh, lahir ketenangan jiwa dan kejernihan pikiran. Dan dari makan yang secukupnya, lahir hidup yang lebih sehat, hemat, dan penuh berkah. Wallahu a’lam.

Reporter: Fathurrahim Syuhadi