JAKARTA lintasjatimnews – Tampilan Penyair Halimah Munawir sebagai pembaca puisi dalam acara “Malam Doa dan Kemanusiaan untuk Aceh” di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sangat memukau pengunjung.
Dalam acara yang digelar Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang berkolaborasi dengan Desember Kopi Gayo, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), serta PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Jumat (26/12/2025), Halimah Munawir yang membacakan puisi bertajuk “Diam Sangat Menyakitkan” itu, seakan menjadi sosok utama yang menghidupkan suasana acara.
Dari kalimat ke kalimat yang diungkap Halimah begitu menyentuh perasaan pengunjung, sehingga orang-orang yang hadir dibuat diam dan merasa simpatik.
Di tengah krisis ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, puisi yang dibacakan penyair Halimah Munawir begitu pas dan tepat, sehingga momen amal yang digelar benar-benar menyentuh suasana.
Kegiatan itu menjadi ruang refleksi kolektif atas bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh 2025, sehingga menyisakan luka sosial, ekologi, dan kemanusiaan.
Sangat Tepat
Ketika diwawancarai, sebagai penyair dan kririk sastra Indonesia, Dr Drs Tarech Rasyid MSi, menyatakan bahwa puisi merupakan kritik terbuka atas tarjadinya kejahatan ekologis.
“Sebagai ruang sastra yang tajam dan langsung menyaksikan kejahatan dan kebusukan ekologis, puisi mampu berbicara banyak tentang kebusukan orang-orang yang terlibat dalam kejahatan ekologis tersebut,” ujar Tarech.
Karena itu, lanjutTarech, Penyair Perempuan Indonesia Halimah Munawir sangat tepat memprediksi persoalan itu ketika ia membaca puisi dalam kegiatan tersebut.
Saat itu, Halimah Munawir menyampaikan puisinya dengan intonasi tenang, namun menghantam kesadaran.
Tak sekadar meratap, namun penyair mampu menggugat kejahatan ekologis tersebut.
“Ini yang disebut sebagai kaidah ungkapan esensi sastra secara mendasar, sehingga ketika Halimah Munawir membacakan puisinya ia tak hanya sekedar meratap tapi dalam ratapan itu ia mengungkap kemarahan dan menggugat secara sosial,” ungkap mantan rektor Universitas Palembang tersebut.
Dalam bacaannya Halimah mengungkap kegelisahannya tentang pembabatan hutan yang sewenang-wenang.
Secara estetika, penyair wanita ini mampu mengungkap eksploitasi sumber daya alam dan keserakahan ekonomi yang menjadi penyebab struktural bencana di Aceh.
“Dengan menggunakan konsep metafora Halimah berani mengeritik tajam terhadap sistem pemerintah yang seolah membiarkan alam dirusak pihak yertentu,” tegas Tarech yang kebetulan menyaksikan acara tersebut.
Sementara itu, penyair Halimah Munawir sendiri menyatakan puisi merupakan media edukatif yang mampu menjangkau kesadaran publik lebih mendalam dibanding laporan teknokratis.
“Jadi, puisi yang saya baca bertajuk ‘Diam Sangat Menyakitkan’ ini tak hanya sekadar karya sastra, tetapi merupakan bentuk karya sastra yang merupakan dokumen perlawanan moral terhadap kejahatan ekologis,” ucapnya usai membacakan puisinya.
Penyair, Sastrawan Halimah Munawir lahir di Cirebon pada 18 Januari 1964. Ia gemar menulis sejak SMA hingga kini.
“Saya aktif di berbagai komunitas sastra dan budaya nasional,” ucapnya.
Halimah juga menulis beberapa novel penting antara lain, The Sinden, Sucinya Cinta Sungai Gangga, Kidung Volendam, PADMI, hingga Bayi Merapi.
Sebagai Penyair dan Sastrawan, Halimah Munawir sangat dikenal konsisten mengangkat isu kemanusiaan, spiritual, dan keadilan sosial.
Demikian kutipan yang diperoleh dari laporan liputan oleh Penyair Anto Narasoma (Palembang), dan telah disampaikan di sebuah komunitas WA Group Sastra, Minggu, 28 Desember 2025.
Kontributor : Lasman Simanjuntak








