LAMONGAN lintasjatimnews — Peringatan Hari Ibu menjadi momentum reflektif untuk kembali menempatkan ibu sebagai pusat nilai dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal tersebut disampaikan oleh Maftuhah, MPd Dosen STIT Muhammadiyah Paciran, melalui sebuah tulisan reflektif bertajuk “Di Telapak Tangan Ibu, Langit Belajar Menjadi Surga”, yang menggambarkan makna kehadiran ibu sebagai sumber kasih, pendidikan, dan keteladanan hidup.
Dalam tulisannya, Maftuhah, MPd menegaskan bahwa ibu bukan sekadar sosok yang melahirkan, tetapi ruang hangat tempat anak-anak belajar tentang makna cinta, keteguhan, dan harapan. “Ibuku adalah kata pertama yang dipelajari hatiku sebelum aku mengenal abjad.
Jika surga adalah tempat paling tenang yang dijanjikan Tuhan, maka ibu adalah pintu kecil yang membuat kita percaya bahwa janji itu nyata sejak dini,” ungkapnya.
Ia menilai, makna surga yang dilekatkan pada ibu tidak selalu harus dipahami secara simbolik dan jauh. Menurutnya, surga justru hadir dalam hal-hal sederhana yang dilakukan ibu setiap hari. “Di telapak tangan ibu, langit belajar menjadi surga. Dari sentuhan, panggilan nama, hingga pandangan penuh kasih, ibu mengajarkan cinta tanpa syarat,” tulis Maftuhah.
Lebih lanjut, ia menyoroti peran ibu yang sering kali bekerja dalam sunyi dan tidak menuntut pengakuan. Ibu, kata dia, adalah sosok yang menanggung beban kehidupan dengan keteguhan, membersihkan luka anak-anaknya, serta menambal harapan ketika kegagalan datang.
Semua itu dilakukan tanpa sorotan, namun berdampak besar dalam membentuk karakter manusia.
Dalam konteks peringatan Hari Ibu, Maftuhah mengingatkan agar penghormatan kepada ibu tidak berhenti pada seremonial dan pujian. Ia menekankan perlunya kesadaran kolektif bahwa peradaban manusia bertumbuh dari nilai-nilai yang ditanamkan ibu di ruang domestik.
“Ibu adalah kurikulum pertama manusia. Dari ibulah kita belajar empati, kesabaran, dan tanggung jawab,” tegas kandidat Doktor dari UMM ini
Ia juga mengajak generasi muda untuk bersikap lebih adil kepada ibu dengan menghadirkan perhatian, kelembutan tutur kata, dan kehadiran yang tulus. Menurutnya, membalas cinta ibu tidak harus dengan hal besar, tetapi dengan kesetiaan dalam hal-hal kecil yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Menutup refleksinya, Maftuhah berharap nilai ketulusan yang diwariskan ibu dapat terus hidup lintas generasi.
“Pada akhirnya, ‘ibuku surgaku’ bukan sekadar ungkapan romantis, tetapi sikap hidup. Tugas kita adalah memastikan cinta itu tidak berhenti pada satu generasi,” pungkasnya.
Reporter Fathurrahim Syuhadi








