Merawat Akal di Zaman Cerdas, Literasi Jadi Jalan Pulang Kemanusiaan

Listen to this article

LAMONGAN lintasjatimnews – Di tengah laju teknologi yang kian pesat pada era Society 5.0, kemampuan manusia memahami makna menjadi tantangan tersendiri. Mesin dapat berpikir cepat dan layar digital hadir hampir di setiap ruang kehidupan, namun manusia tetap diuji pada satu hal paling hakiki: kejernihan akal dan kepekaan nurani.

Hal inilah yang disoroti Maftuhah, M.Pd., dosen STIT Muhammadiyah Paciran, dalam refleksi bertajuk Merawat Akal di Zaman Cerdas : Literasi sebagai Jalan Pulang Kemanusiaan, Sabtu (20/12/2026)

Menurut Maftuhah, literasi di era kekinian tidak lagi dapat dipersempit sebagai kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Literasi telah menjelma menjadi kecakapan hidup yang mencakup kemampuan membaca realitas, menyaring informasi, serta menafsirkan dunia digital secara kritis dan beretika.

“Literasi hari ini adalah kompas agar manusia tidak tersesat di belantara algoritma. Tanpa literasi, teknologi yang canggih justru bisa menjauhkan manusia dari kebijaksanaan,” ujar Maftuhah.

Ia menegaskan bahwa era Society 5.0 sejatinya menempatkan manusia sebagai pusat inovasi. Teknologi diciptakan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan, bukan menggantikannya. Namun, derasnya arus informasi digital berpotensi menyeret manusia pada budaya instan, sensasional, dan abai terhadap kebenaran jika tidak dibarengi dengan literasi yang kuat.

“Kita sering membaca cepat, tetapi tidak membaca cermat. Kita mudah berbagi, tetapi lupa bertanggung jawab. Di sinilah literasi menjadi ikhtiar menjaga kejernihan berpikir,” tambah ibu satu putra ini

Lebih lanjut, Maftuhah menekankan pentingnya penguatan berbagai dimensi literasi, mulai dari literasi digital, literasi data, literasi budaya, hingga literasi moral. Seluruhnya perlu berjalan beriringan agar manusia tidak tereduksi menjadi sekadar objek teknologi.

Dalam konteks pendidikan, Maftuhah menilai sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam merawat kesadaran literasi. Ruang-ruang belajar harus dihidupkan sebagai taman dialog, tempat bertumbuhnya kebiasaan membaca, berpikir kritis, dan bertukar gagasan.

“Literasi tidak boleh diposisikan sebagai beban atau kewajiban administratif. Ia harus menjadi kebutuhan dan kebiasaan, bagian dari cara kita memanusiakan manusia,” tegas Wakil Ketua STIT Muhammadiyah Paciran ini

Ia menutup refleksinya dengan menegaskan bahwa literasi adalah sikap hidup. Di tengah kecerdasan buatan yang terus berkembang, literasi menjadi jalan pulang bagi kemanusiaan—menjaga akal agar tetap berpijak pada nilai, dan nurani agar terus menyala.

Reporter: Fathurrahim Syuhadi