Kisah Ahmad Fauzi MPd Menyikapi Takdir dengan Ilmu dan Syukur

Listen to this article

SEMARANG lintasjatimnews — Perjalanan hidup tidak selalu lurus menuju apa yang diimpikan. Namun, bagi Ahmad Fauzi, seorang santri dan pendidik, liku panjang justru menjadi ruang pembelajaran tentang makna kepasrahan, husnuzan, dan keyakinan bahwa Allah selalu menyiapkan jalan terbaik bagi hamba-Nya.

Sejak masih mondok, Ahmad Fauzi menanamkan mimpi besar: menjadi abdi negara di lingkungan Kementerian Agama. Mimpi itu bukan sekadar angan, melainkan ditata rapi dalam sebuah mind map—sebuah peta harapan yang ia susun menjelang kelulusan dari pondok pesantren.

“Sejak sebelum lulus pesantren, saya sudah menuliskan mimpi saya. Saya ingin kuliah di UIN Jakarta, jurusan Ahwalus Syakhsiyah atau Hukum Keluarga Islam, sebagai jalan menuju pengabdian di Kementerian Agama,” tutur Ahmad Fauzi, MPd

Tak disangka, harapan pertamanya terwujud dengan sangat baik. Ia diterima di UIN Jakarta, menyelesaikan studi hanya dalam waktu 3,5 tahun, bahkan mendapatkan beasiswa penuh dari kampus. Di saat yang sama, ia juga memilih jalan pengabdian sebagai guru Pendidikan Agama Islam di sekolah Islam swasta sejak tahun 2012.

“Bagi seorang santri, mengajar dan mengamalkan ilmu adalah bentuk pengabdian. Itu jalan yang saya yakini,” katanya.

Namun, tidak semua mimpi berjalan sesuai rencana. Harapan kedua—lulus CPNS Kementerian Agama—menjadi ujian panjang dalam hidupnya. Selama 13 tahun, Ahmad Fauzi tercatat telah 13 kali mengikuti seleksi CPNS, namun belum juga berhasil.

“Di titik itu saya benar-benar belajar. Sesulit apa pun usaha kita, kalau Allah belum berkehendak, maka hasil itu tidak akan datang. Akhirnya saya hanya bisa pasrah,” ungkapnya lirih.

Kepasrahan itulah yang perlahan menumbuhkan kesadaran baru. Ia mulai meyakini bahwa kegagalan berulang bukanlah penolakan, melainkan penundaan yang menyimpan hikmah.

Keyakinan itu menemukan momentumnya pada awal tahun ajaran 2024–2025, saat ia memperoleh informasi tentang program S2 RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang yang dapat ditempuh dalam waktu satu tahun. Awalnya, Ahmad Fauzi ragu.

“Saya sempat berpikir, saya tidak butuh S2. Dengan S1 saja saya merasa sudah cukup untuk mengajar dan menjalankan usaha,” ujarnya.

Namun, dorongan justru datang dari sosok terdekatnya—istri tercinta. “Istri saya berkata, ‘Mungkin ini jalan dari Allah agar derajatmu diangkat.’ Padahal sebenarnya, justru dia yang punya mimpi menjadi dosen,” kenangnya penuh haru.

Dengan izin dan motivasi istri, Ahmad Fauzi kembali menata niat dan memperkuat husnuzan. Ia mengingat janji Allah dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu. Perkuliahan pun ia jalani dengan penuh semangat secara daring setiap Jumat dan Sabtu.

Ujian kembali datang saat jadwal sidang munaqosyah beriringan dengan kesibukan awal tahun ajaran baru di sekolah. Revisi dan persiapan administrasi membuatnya tertinggal, hingga akhirnya ia dinyatakan tidak bisa mengikuti sidang karena batas akhir pendaftaran.

“Sedih, tentu. Tapi saya kembali belajar husnuzan. Saya yakin Allah sedang menyiapkan sesuatu,” katanya.

Keyakinan itu terbukti. Ia justru dipersiapkan untuk mengikuti PPG Dalam Jabatan pada September–November. Setelah dinyatakan lulus UKIN dan UKPPG, pintu sidang munaqosyah kembali dibuka—dan itu menjadi sidang terakhir tahun tersebut.

“Alhamdulillah, saya bisa mendaftar. Dari sidang, revisi, sampai wisuda, semuanya Allah mudahkan,” ungkap Ahmad Fauzi.

Momen wisuda di Kota Semarang, Kota Lumpia, menjadi puncak rasa syukur sekaligus haru. Ia hadir tanpa istri dan orang tua, namun pesan seorang guru besar Fakultas Hukum Unissula menembus relung hatinya.

“Beliau berkata, ‘Terkadang kita lupa berterima kasih pada diri sendiri, karena sudah sampai di titik ini.’ Saat itu dada saya benar-benar sesak,” kenangnya.

Haru itu kian memuncak saat seorang wali murid menyesali ketidakhadirannya untuk mengantar Ahmad Fauzi ke lokasi wisuda dengan kendaraan pribadi.

“Di situ saya sadar, betapa banyak orang baik di sekitar saya. Doa orang tua, dukungan istri, dan pertolongan orang-orang yang Allah hadirkan,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Kini, Ahmad Fauzi memetik pelajaran besar dari perjalanan panjangnya. “Saya belajar bahwa dengan husnuzan dan pasrah pada takdir Allah, kita justru akan mendapatkan yang terbaik. Allah lebih tahu apa yang kita butuhkan, bukan sekadar apa yang kita inginkan,” pungkasnya.

Ia pun menutup kisahnya dengan pengakuan jujur. “Mungkin selama ini saya merasa kufur nikmat. Padahal begitu banyak kebaikan yang Allah hadirkan dalam hidup saya,” pungkasnya

Reporter Fathurrahim Syuhadi