LAMONGAN lintasjatimnews – Dalam dunia pendidikan, keberhasilan sering kali diukur dengan angka, nilai ujian, dan prestasi akademik. Namun sesungguhnya, ada warisan yang jauh lebih berharga dan bertahan lama daripada semua itu, yakni karakter murid.
Gedung sekolah bisa roboh, kurikulum bisa berganti, dan teknologi bisa usang, tetapi karakter yang tertanam dalam diri seorang murid akan terus hidup dan memengaruhi arah kehidupannya. Di sinilah letak kemuliaan dan tanggung jawab besar seorang guru: membentuk manusia, bukan sekadar mencetak lulusan.
Islam menempatkan akhlak sebagai inti dari pendidikan. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman: “Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21). Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan sejati bertumpu pada keteladanan. Guru, dalam konteks ini, adalah figur yang diharapkan meneladani nilai-nilai kebaikan dan menanamkannya pada murid melalui sikap, ucapan, dan perbuatan sehari-hari.
Rasulullah Saw juga menegaskan tujuan utama risalah Islam melalui sabdanya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Hadis ini memberikan pesan kuat bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi pada kematangan moral. Guru yang berhasil adalah guru yang mampu melahirkan murid berilmu sekaligus berakhlak.
Karakter murid dibentuk melalui proses panjang dan konsisten. Apa yang dilihat murid dari gurunya akan membekas lebih dalam dibandingkan apa yang hanya didengar. Kejujuran guru saat menilai, kesabaran dalam menghadapi kesalahan, dan keadilan dalam memperlakukan murid akan menjadi pelajaran hidup yang tak tertulis, namun sangat menentukan.
Inilah yang sering disebut sebagai hidden curriculum, kurikulum tak kasat mata yang justru paling berpengaruh.
Para ulama telah lama mengingatkan pentingnya adab dalam pendidikan. Imam Malik rahimahullah pernah berkata: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” Ungkapan ini menegaskan bahwa ilmu tanpa adab dapat kehilangan makna dan bahkan membawa kerusakan. Guru memiliki peran sentral untuk memastikan bahwa ilmu yang diajarkan tidak terlepas dari nilai-nilai akhlak.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah mendekatkan manusia kepada Allah dan membentuk jiwa yang mulia. Menurut beliau, guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi pembimbing ruhani yang bertugas menanamkan kebiasaan baik dan membersihkan akhlak murid dari sifat-sifat tercela.
Jika seorang murid tumbuh menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan bertanggung jawab, itulah bukti keberhasilan pendidikan guru.
Warisan karakter juga bersifat jangka panjang. Ilmu pengetahuan bisa berubah seiring perkembangan zaman, tetapi nilai kejujuran, tanggung jawab, empati, dan disiplin tetap relevan di setiap era.
Murid yang berkarakter baik akan membawa nilai-nilai tersebut ke dalam keluarga, masyarakat, dan profesi apa pun yang kelak ia tekuni. Dengan demikian, dampak pendidikan guru meluas dan berkelanjutan.
Rasulullah Saw bersabda “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menempatkan akhlak sebagai ukuran utama kemuliaan seseorang. Guru yang menanamkan karakter mulia berarti sedang mempersiapkan generasi terbaik bagi masa depan bangsa dan umat.
Pada akhirnya, warisan terbesar guru bukanlah gedung sekolah, buku pelajaran, atau sertifikat penghargaan. Warisan sejati itu hidup dalam diri murid-muridnya: dalam cara mereka bersikap, mengambil keputusan, dan memperlakukan sesama.
Selama karakter itu terus hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya, selama itu pula pahala dan kebaikan guru akan terus mengalir. Inilah warisan abadi yang menjadikan profesi guru begitu mulia dan tak tergantikan.
Penulis Fathurrahim Syuhadi








