Ketika Lelah Menjadi Ibadah: Refleksi Perjuangan Guru

Listen to this article

LAMONGAN lintasjatimnews – Menjadi guru bukanlah perjalanan yang selalu ringan dan menyenangkan. Di balik senyum yang diberikan di ruang kelas, sering tersimpan rasa lelah yang panjang. Guru menghadapi tuntutan administrasi, beban moral mendidik karakter, keterbatasan sarana, serta ekspektasi masyarakat yang tinggi.

Namun dalam perspektif iman, lelah yang dialami guru bukanlah sesuatu yang sia-sia. Jika dijalani dengan niat yang lurus, kelelahan itu justru bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Islam mengajarkan bahwa setiap aktivitas yang diniatkan karena Allah akan bernilai pahala, termasuk bekerja dan mengabdi. Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagi seorang guru, niat mendidik sebagai bentuk ibadah menjadikan setiap peluh, setiap kesabaran, dan setiap keletihan sebagai ladang pahala yang besar.

Allah Subhanahu wa Ta‘ala juga menegaskan bahwa tidak ada amal kebaikan yang luput dari penilaian-Nya. “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7).

Ayat ini menjadi penguat bagi para guru yang mungkin merasa lelahnya tidak dihargai oleh manusia. Di hadapan Allah, tidak ada satu pun perjuangan yang terabaikan.

Lelah seorang guru bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Guru sering harus menghadapi karakter murid yang beragam, persoalan keluarga siswa, serta tekanan untuk tetap sabar dan adil. Dalam kondisi seperti ini, kesabaran menjadi kunci.

Allah berfirman: “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). Kesabaran guru adalah kekuatan yang lahir dari keimanan, bukan semata ketahanan mental.

Para ulama telah lama menempatkan perjuangan guru pada posisi yang sangat mulia. Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa mengajarkan ilmu adalah ibadah yang agung, karena manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, tetapi juga oleh banyak orang. Menurut beliau, orang yang mengajar dengan ikhlas sejatinya sedang menyiapkan bekal akhiratnya, meskipun ia harus menanggung lelah dan kesulitan di dunia.

Imam Ibnul Qayyim juga menyebutkan bahwa kelelahan dalam ketaatan adalah tanda kedekatan seorang hamba dengan Rabb-nya. Dalam karyanya, beliau menjelaskan bahwa rasa letih yang muncul karena menjalankan perintah Allah tidak akan berujung pada penyesalan, melainkan berbuah manis di akhirat.

Guru yang lelah karena mendidik, membimbing, dan menanamkan nilai kebaikan termasuk dalam kategori ini. Tentu balasannya adalah surga

Sering kali guru bekerja dalam senyap. Tidak semua keberhasilan murid secara langsung dikaitkan dengan jerih payah guru.

Namun Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi kabar gembira bagi guru, karena setiap kebaikan yang dilakukan murid-muridnya akan mengalirkan pahala kepada guru yang telah membimbing mereka.

Ketika lelah mulai menyapa, guru diajak untuk kembali meluruskan niat dan memperkuat keyakinan bahwa apa yang dikerjakan adalah bagian dari ibadah. Mengajar bukan sekadar rutinitas, tetapi bentuk pengabdian yang bernilai akhirat. Lelah itu mungkin terasa berat hari ini, tetapi kelak akan menjadi saksi kebaikan di hadapan Allah.

Pada akhirnya, ketika lelah dijalani dengan ikhlas dan sabar, ia berubah menjadi ibadah yang agung. Inilah kemuliaan perjuangan guru : mengubah peluh menjadi pahala, kesabaran menjadi cahaya, dan kelelahan menjadi jalan menuju ridha Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Penulis Fathurrahim Syuhadi