Malam Orion di Gunung Padang: Tiga Wartawan Menyapa Penjaga Alam

Listen to this article

CIANJUR lintasjatimnews – Malam itu, Gunung Padang bernafas dalam hening. Kabut tipis menggantung di antara batu-batu tua, ketika tiga wartawan asal Jakarta, Rudolf, Ochin, dan Widya, menapaki anak tangga menuju jantung situs megalitikum yang legendaris itu.

Senin malam (20/10), hujan menyambut langkah pertama mereka, lembut, seperti doa pembuka dari langit.
“Air hujan itu tanda penyucian,” bisik Ochin. “Gunung sedang membersihkan jejak duniawi kita.”

Usai hujan reda, di antara aroma tanah basah, mereka mulai mendaki lebih dari tiga ratus enam puluh anak tangga, menembus senyap malam menuju teras pertama, hingga mencapai teras kelima, tempat doa dan sejarah berkelindan.

Di sanalah, pada detik pergantian hari, Rudolf berulang tahun.
Tiga sahabat itu menyalakan lilin kecil, memanjatkan syukur, dan membagi kue tart sederhana.
Tak ada musik, tak ada lampu. Hanya cahaya lilin yang bergetar diterpa angin dan gema doa yang mengalun ke langit purba.

Lalu semesta membalas.
Rasi bintang Orion muncul tegak di atas kepala mereka, tiga bintang sejajar di sabuk langit.
“Ada tiga bintang sejajar. Persis seperti kita duduk di atas batu,” ujar Ochin pelan.

Seolah langit memantulkan bayangan mereka sendiri, tiga jiwa yang datang mencari makna di antara batu dan bintang.

Beberapa kali meteor melintas dari timur ke barat, membelah langit Cianjur yang jernih.
Rudolf menatapnya lama, seakan menangkap pesan dari cahaya yang singkat namun abadi.
“Seperti ucapan selamat dari semesta,” katanya lirih, “dan sapaan dari Tuhan Pelukis yang Agung, yang menorehkan garis cahaya di kanvas malam.”

Di sela batu, seekor kodok bermata putih muncul, langka, sunyi, dan memancarkan aura aneh.
Tak jauh dari situ, seekor cacing palu merayap perlahan di dinding batu, tubuhnya berlendir dan bergaris putih di sepanjang badan.
Makhluk-makhluk kecil itu seolah bagian dari ritual malam itu.

Menurut praktisi spiritual Kanjeng Yoga, kehadiran mereka bukan kebetulan.

“Kodok bermata putih adalah penjaga kesucian. Ia muncul hanya ketika energi tempat itu jernih.
Sedangkan cacing palu, dengan tubuh berlendir dan garis putihnya, adalah penyerap energi negatif, penjaga keseimbangan di antara dunia yang terlihat dan yang tersembunyi.”

Bagi Widya, malam itu lebih dari sekadar perjalanan.

“Ada sesuatu yang hidup di balik keheningan Gunung Padang,” katanya lembut. “Saya merasa seolah batu-batu tua itu mendengar doa kita.”

Ketiganya lalu duduk bersila di atas batu purba, memandang langit yang perlahan kembali gelap.
Di sana, antara hujan yang reda dan bintang yang bersinar, mereka menemukan sesuatu yang tak bisa diucapkan,sebuah rasa damai yang datang langsung dari jantung bumi dan napas semesta.

Makna dari Gunung Padang

Bagi banyak peziarah spiritual, Gunung Padang bukan sekadar situs arkeologi tertua di Nusantara, melainkan titik temu antara langit dan bumi, antara manusia dan leluhur.
Di sanalah waktu seolah berhenti, dan suara alam berbicara dalam diam.

Perjalanan tiga wartawan itu menjadi pengingat, bahwa setiap langkah di jalan batu tua adalah ziarah menuju diri sendiri,menyadarkan bahwa keseimbangan sejati bukan dicari di luar, melainkan dijaga di dalam hati, sebagaimana Tuhan Pelukis yang Agung menata langit, batu, dan jiwa manusia dalam satu harmoni abadi di Gunung Padang.

Dan di tengah resonansi alam yang purba itu, mereka belajar kembali arti kehidupan yang diberikan Tuhan, melalui harmonisasi energi dan getar Gunung Padang,tempat di mana bumi berdoa, langit mendengar, dan manusia menemukan dirinya kembali.

(.Tim)