LAMONGAN lintasjatimnews – Guru adalah cahaya yang tak pernah padam, meski kadang redup oleh keterbatasan zaman. Ia hadir di setiap sudut ruang kelas, di sekolah-sekolah sederhana di pelosok desa, hingga di tengah hiruk pikuk kota besar.
Cahaya yang dipancarkannya bukan hanya berupa ilmu, tetapi juga keteladanan, keikhlasan, dan kasih sayang. Karena itulah, guru sering disebut sebagai pelita peradaban.
Tanpa guru, bangsa akan kehilangan arah. Tanpa guru, masyarakat akan berjalan dalam kegelapan. Guru adalah jantung pendidikan, dan pendidikan adalah ruh sebuah peradaban.
Dalam Islam, kedudukan guru sangat dimuliakan. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan betapa pentingnya peran orang yang berilmu. Allah Swt berfirman “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa guru, sebagai orang yang mengajarkan ilmu, memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah. Rasulullah Saw pun bersabda “Sesungguhnya Allah, para malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menggambarkan betapa luasnya keberkahan bagi seorang guru. Mengajarkan ilmu bukan hanya memberikan manfaat kepada murid, tetapi juga menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin bahkan menegaskan “Guru adalah pewaris para nabi. Tugas guru bukan hanya mengisi akal dengan pengetahuan, tetapi juga menghidupkan hati dengan iman dan akhlak.”
Dengan demikian, guru tidak sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa untuk menuntun generasi manusia menuju jalan kebenaran.
Sejarah dunia membuktikan bahwa setiap kemajuan peradaban selalu ditopang oleh peran guru. Di Yunani, Socrates menanamkan tradisi berpikir kritis yang melahirkan murid-murid besar seperti Plato dan Aristoteles.
Dalam peradaban Islam, kita mengenal tokoh-tokoh seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Khawarizmi yang bukan hanya ulama dan ilmuwan, tetapi juga guru yang melahirkan generasi penerus.
Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara menyalakan api pendidikan nasional dengan semboyannya yang terkenal: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Di balik lahirnya generasi pemimpin bangsa, selalu ada guru yang dengan sabar dan istiqamah mendampingi perjalanan mereka.
Guru adalah pelita. Ia rela terbakar demi memberi terang. Ia berkorban waktu, tenaga, bahkan sering kali mengorbankan kepentingan pribadi demi anak didiknya. Mereka mungkin tidak selalu dikenang namanya, tetapi cahaya yang dipancarkannya hidup dalam pikiran, sikap, dan karya murid-muridnya.
Di era digital saat ini, peran guru semakin kompleks. Informasi tersedia di mana-mana, murid bisa belajar dari gawai, internet, dan kecerdasan buatan. Namun, di sinilah letak tantangan sekaligus keistimewaan guru: menjadi penuntun moral dan pembimbing adab.
Ilmu tanpa adab akan melahirkan generasi yang pintar tetapi kehilangan arah. Guru hadir bukan hanya sebagai penyampai pengetahuan, melainkan sebagai penjaga nilai. Ia memastikan agar ilmu yang didapat murid digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kerusakan.
Maka, guru tetap tak tergantikan oleh mesin atau teknologi apa pun, karena yang ditanamkan guru bukan hanya data dan informasi, tetapi juga kebijaksanaan hidup.
Karena peran guru begitu besar, sudah semestinya masyarakat dan negara memberi penghormatan yang layak. Bukan hanya dalam bentuk kesejahteraan materi, tetapi juga dalam bentuk penghargaan, perlindungan, dan dukungan moral.
Menghormati guru berarti menjaga martabat bangsa. Sebaliknya, meremehkan guru sama dengan meruntuhkan peradaban.
Dalam tradisi Islam, menghormati guru adalah bagian dari adab. Imam Malik, salah satu imam mazhab, bahkan tidak berani membuka lembaran kitab di hadapan gurunya tanpa izin. Murid-murid besar dalam sejarah selalu mengajarkan, bahwa adab kepada guru lebih utama daripada sekadar kecerdasan dalam belajar.
Pelita akan padam ketika habis terbakar, tetapi cahaya yang ditinggalkan tetap menerangi. Demikian pula guru. Mungkin mereka telah tiada, tetapi ilmu, keteladanan, dan doa-doa mereka tetap hidup dalam diri murid.
Setiap kali seorang murid mengamalkan ilmu, setiap kali seorang murid menebar kebaikan, pahala akan terus mengalir kepada gurunya. Itulah warisan abadi yang tak pernah lekang oleh waktu.
Guru adalah pelita peradaban. Dari tangannya lahir generasi berilmu, beradab, dan beriman. Dari bimbingannya tumbuh pemimpin, ulama, ilmuwan, dan pejuang kemanusiaan.
Karena itu, marilah kita memuliakan guru. Doakan mereka, dukung perjuangan mereka, dan teladani semangat mereka. Sebab, selama masih ada guru yang ikhlas menyalakan pelita, bangsa ini tidak akan pernah kehilangan cahaya untuk melangkah menuju peradaban yang mulia.
Reporter Fathurrahim Syuhadi