Pernyataan Sikap Politik ForDESI: Minta Evaluasi Strategis Program MBG

Listen to this article

SURABAYA Lintasjatimnews – Makanan Beracun Gratis? ForDESI Minta Evaluasi Strategis Program MBG.

Fenomena keracunan massal yang menimpa ribuan siswa sekolah akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini memunculkan istilah satir di masyarakat: “Makanan Beracun Gratis.” Istilah yang viral di media sosial ini muncul dari kekecewaan publik, sebab makanan yang digadang-gadang sehat justru membuat anak-anak jatuh sakit.

Hingga September 2025, tercatat lebih dari 6.400 kasus keracunan terkait distribusi MBG di berbagai daerah, mulai Sumatera Selatan, Jawa Barat, Riau, Lampung, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara. Kasus terbesar terjadi di Bandung Barat, di mana hampir 500 siswa dilaporkan keracunan setelah menyantap menu MBG.

Menanggapi kondisi ini, Ketua Umum Forum Dosen Indonesia (ForDESI) yang juga Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I, menyampaikan pandangan kritis. Dalam wawancara dengan media, ia menekankan bahwa istilah “Makanan Beracun Gratis” memang terdengar keras, namun tidak bisa dianggap berlebihan.

“Kalau fakta menunjukkan makanan gratis yang seharusnya bergizi justru menyebabkan keracunan massal, maka kritik semacam itu adalah alarm keras bagi pemerintah. Istilah tersebut memang provokatif, tetapi punya pesan moral: ada yang salah dalam sistem,” ujarnya.

Menurut data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan yang dirilis berbagai media, akar persoalan keracunan MBG antara lain: rendahnya standar keamanan pangan, proses memasak yang dilakukan terlalu dini sehingga makanan basi sebelum disantap, hingga minimnya dapur yang memiliki sertifikasi higiene.

Dari 1.379 dapur penyedia, hanya 30 persen yang punya SOP keamanan pangan, dan lebih ironis lagi, hanya sekitar 22 persen yang benar-benar menjalankannya.

“Ini bukan sekadar kecelakaan sporadis, melainkan kegagalan sistem. Jika tidak segera dievaluasi, keracunan massal bisa berulang dan membahayakan generasi muda,” tegas Sholikh.

Ia lalu menguraikan beberapa solusi strategis yang perlu segera dilakukan pemerintah. Pertama, moratorium sementara program MBG di daerah-daerah yang sudah mengalami kasus keracunan, sembari dilakukan audit independen oleh lembaga netral.

Kedua, desentralisasi kewenangan pengawasan ke pemerintah kabupaten/kota agar kontrol lebih dekat dengan lapangan. Ketiga, standarisasi nasional yang mengikat terkait sertifikasi dapur, SOP higiene, dan inspeksi berkala.

Selain itu, ForDESI juga mendorong pembentukan tim pengawas lintas lembaga yang melibatkan BPOM, Dinas Kesehatan, serta perguruan tinggi.

“Kampus bisa ikut dalam audit independen. Dosen dan mahasiswa kesehatan masyarakat atau teknologi pangan bisa menjadi pengawas eksternal agar ada kontrol akademis yang objektif,” ujarnya.

Dalam tataran taktis, Sholikh menekankan pentingnya pelatihan bagi seluruh pengelola dapur MBG tentang higienitas pangan. Ia juga meminta adanya uji mikrobiologi secara rutin terhadap sampel makanan, serta manajemen distribusi yang lebih ketat.

“Makanan harus dikonsumsi dalam rentang waktu aman. Kalau dimasak subuh lalu dimakan siang tanpa penyimpanan memadai, jelas risiko keracunan tinggi,” jelasnya.

Sholikh juga menyinggung soal hak korban. Ia meminta pemerintah memastikan adanya mekanisme ganti rugi dan penanganan medis cepat bagi siswa yang keracunan.

“Jangan sampai orang tua merasa anaknya hanya dijadikan percobaan kebijakan. Negara harus hadir penuh dalam perlindungan warganya,” katanya.

Ketika ditanya apakah ForDESI menolak program MBG secara total, Sholikh menegaskan bahwa ide dasarnya tetap baik. Memberi akses makanan sehat dan bergizi untuk anak sekolah adalah langkah mulia. Namun, niat baik tanpa eksekusi yang benar bisa berubah menjadi bencana. “Program ini punya kekuatan visi, tetapi lemah pada implementasi. Karena itu, jangan dihentikan permanen, tetapi direvisi dengan serius,” ujarnya.

Sholikh menutup wawancara dengan pesan agar pemerintah tidak alergi kritik. “Istilah Makanan Beracun Gratis lahir dari kekecewaan publik. Pemerintah seharusnya menangkap kritik itu sebagai bahan evaluasi, bukan sekadar dianggap nyinyiran. Kalau akar masalah dibenahi, program MBG bisa menjadi kebijakan strategis jangka panjang untuk peningkatan kualitas gizi anak bangsa,” pungkasnya.

Kasus keracunan MBG ini jelas menjadi pelajaran penting. Tanpa evaluasi menyeluruh, program bergizi gratis bisa kehilangan legitimasi publik. ForDESI menegaskan komitmennya untuk terus mendorong perbaikan berbasis riset dan akademik, agar setiap kebijakan publik benar-benar memberi manfaat, bukan mudarat.

Reporter: Alfain Jalaluddin Ramadlan