LAMONGAN lintasjatimnews – Hari Ulang Tahun Republik Indonesia selalu identik dengan gegap gempita, semangat persatuan, dan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan. Namun, tahun ini suasana berbeda. Ketika rakyat seharusnya larut dalam semangat merah putih, justru kabar duka datang dari jalanan
Demonstrasi berubah menjadi anarkis, gedung-gedung terbakar, pos polisi dirusak. Bahkan nyawa melayang. Peringatan HUT RI yang mestinya menjadi pesta rakyat, tercoreng oleh luka kolektif.
Bangsa ini seakan dipaksa merayakan ulang tahunnya dengan hati yang pilu. Bendera tetap berkibar, upacara tetap digelar, namun rasa haru bercampur dengan getir.
Bagaimana mungkin kita berbahagia, ketika di sisi lain sesama anak bangsa harus kehilangan keluarga, harta benda, atau bahkan rasa aman, hanya karena demonstrasi yang berubah menjadi ajang kekerasan ?
Demonstrasi sejatinya adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi. Ia adalah wujud demokrasi, saluran suara bagi yang ingin didengar. Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi anarkis, nilai luhur itu tercabik. Bukan aspirasi yang menonjol, melainkan amarah.
Bukan suara rakyat yang mengemuka, melainkan kerusuhan. Maka, yang tersisa bukan lagi kebanggaan, melainkan duka.
Tidak bisa dipungkiri, demonstrasi anarkis seringkali muncul karena aspirasi yang tidak tersalurkan dengan baik. Ketika suara rakyat tidak didengar, ketika kebijakan dirasa jauh dari keadilan.
Ketika komunikasi macet antara pemimpin dan rakyat, maka jalanan menjadi pilihan. Namun, jalanan yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, berubah menjadi ajang kemarahan kolektif.
Dalam hal ini, duka pada peringatan HUT RI mengingatkan kita bahwa demokrasi yang sehat tidak cukup dengan memberi ruang demonstrasi, tetapi juga dengan membangun saluran komunikasi yang adil, terbuka, dan beradab.
Suasana duka karena demonstrasi anarkis mestinya menjadi pelajaran berharga.
Pertama, bagi pemerintah, agar lebih peka mendengar jeritan rakyat, mengelola aspirasi dengan bijak, dan mengedepankan dialog.
Kedua, bagi masyarakat, agar menyuarakan pendapat dengan cara yang beradab, menjauhkan diri dari provokasi yang merugikan sesama.
Ketiga, bagi aparat, agar menjaga keseimbangan antara menegakkan aturan dan melindungi rakyat.
Bangsa ini sudah terlalu banyak kehilangan akibat konflik internal. Dari sejarah kita belajar, perpecahan justru membuka peluang bagi pihak lain untuk melemahkan persatuan. Maka, jangan sampai demonstrasi anarkis justru menjadikan kita bangsa yang mudah diprovokasi dan dipecah belah.
Kita tidak boleh berhenti pada ratapan. Luka kolektif ini harus diubah menjadi energi baru untuk memperkuat persatuan. Rakyat perlu sadar bahwa kemerdekaan bukan hanya diwariskan, melainkan juga harus dijaga.
Caranya adalah dengan membangun budaya dialog, memperkuat pendidikan politik yang sehat, dan menanamkan kesadaran bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan, tetapi kekerasan tidak pernah dibenarkan.
Bangsa yang merdeka sejatinya bukan bangsa yang bebas berbuat semaunya, melainkan bangsa yang mampu menjaga kebebasan dengan tanggung jawab dan menghormati sesama. Itulah makna kemerdekaan sejati, yang harus kita rayakan bahkan di tengah duka.
Dengan begitu, peringatan HUT RI ke depan bisa kembali menjadi pesta rakyat yang penuh kegembiraan, bukan kenangan pahit.
Reporter Fathurrahim Syuhadi