LAMONGAN lintasjatimnews – Dalam perjalanan sejarah bangsa, guru selalu menempati posisi terhormat. Mereka adalah sosok yang mendidik, membimbing, dan menyalakan obor peradaban.
Namun, tidak jarang guru dipandang hanya sebagai pekerja yang membebani anggaran negara. Padahal, sejatinya guru bukanlah beban negara, melainkan penopang utama kemajuan bangsa.
Al-Qur’an menegaskan kemuliaan orang-orang berilmu. Allah Swt. berfirman “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9).
Ayat ini menunjukkan bahwa guru sebagai pengemban ilmu memiliki kedudukan mulia. Keberadaan mereka bukan untuk membebani, tetapi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat konstitusi.
Rasulullah Saw. juga menegaskan dalam hadis “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut di lubangnya dan ikan di laut mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menggambarkan betapa besar jasa guru, sehingga doa kebaikan dari seluruh makhluk menyertai mereka. Seorang guru tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak, menuntun generasi, dan menghidupkan amal jariyah yang tak pernah putus.
Para ulama pun memuliakan posisi guru. Imam Al-Ghazali menyebut guru sebagai pewaris para nabi. Ia berkata: “Kedudukan guru lebih mulia daripada orang tua. Orang tua hanya memberi kehidupan dunia, sedangkan guru memberi kehidupan akhirat.”
Pandangan ini menegaskan bahwa keberadaan guru jauh dari sekadar angka dalam beban anggaran. Mereka adalah aset bangsa yang tidak ternilai.
Jika negara memandang guru hanya sebagai beban, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Sebab, sejatinya guru adalah investasi terbesar bangsa.
Bangsa yang maju selalu menempatkan guru pada posisi terhormat dengan kesejahteraan yang layak. Sebaliknya, bangsa yang abai terhadap guru akan tertinggal, karena tidak memiliki generasi unggul.
Di Indonesia, peran guru begitu vital dalam membentuk karakter bangsa. Mereka hadir bukan hanya di kota besar, tetapi juga di pelosok, daerah terpencil, bahkan daerah perbatasan.
Dengan segala keterbatasan, mereka tetap mengabdi tanpa pamrih. Dedikasi ini membuktikan bahwa guru bukan beban negara, justru mereka adalah garda terdepan pembangunan sumber daya manusia.
Kita perlu mengingat pesan KH. Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri NU: “Siapa yang memuliakan guru, maka Allah akan memuliakannya.” Pesan ini mengandung makna bahwa guru harus dimuliakan, termasuk dengan memberikan perhatian serius dari negara.
Senada dengan itu, Ki Hadjar Dewantara menegaskan: “Guru adalah pejuang yang tulus, ia tidak hidup untuk dirinya, melainkan untuk anak didiknya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa guru adalah pilar utama peradaban, yang pengabdiannya tidak dapat dinilai hanya dengan angka-angka anggaran.
Guru adalah cahaya peradaban. Tanpa guru, tidak ada dokter, insinyur, hakim, pemimpin, bahkan tidak ada menteri sekalipun. Maka sudah sepantasnya negara tidak melihat guru sebagai beban, melainkan sebagai mitra strategis dalam membangun bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memuliakan gurunya. Guru bukan beban negara, tetapi juru kebaikan, penggerak perubahan, dan pondasi peradaban yang akan menentukan arah masa depan Indonesia.
Reporter Fathurrahim Syuhadi