Takdir Allah Tidak Pernah Salah: Pelajaran dari Kemiskinan

Listen to this article

LAMONGAN lintasjatimnews – Kemiskinan sering dianggap sebagai penderitaan, bahkan kutukan. Tak sedikit yang merasa hina karena tak mampu memiliki apa yang orang lain miliki.

Namun, jika kita merenungi lebih dalam, kemiskinan bukanlah sekadar kondisi ekonomi. Ia bisa menjadi jendela untuk memahami kebijaksanaan takdir Allah yang tak pernah salah.

Allah Swt berfirman “Kami uji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya: 35)

Ayat ini menunjukkan bahwa hidup bukan hanya tentang kelapangan, tapi juga kesempitan. Kekayaan dan kemiskinan adalah dua sisi ujian.

Takdir Allah menyelimuti semua, termasuk keadaan seseorang yang miskin, bukan karena Allah tidak menyayanginya, tapi justru karena Allah ingin mendidik hatinya.

Rasulullah Saw bersabda “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin! Segala urusannya adalah baik baginya. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu pun baik baginya (HR. Muslim)

Dalam kemiskinan, ada ruang yang luas untuk kesabaran dan keikhlasan. Orang miskin yang sabar dan tetap menjaga keimanan, bisa lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dibandingkan orang kaya yang kufur nikmat. Allah tidak menilai kita dari isi dompet, tapi dari isi hati.

Sungguh, takdir Allah tidak pernah keliru. Mungkin, kemiskinanlah yang membuat seseorang lebih mudah khusyuk dalam shalat, lebih rajin dalam berdoa, dan lebih dekat dengan Al-Qur’an. Kemiskinan melatih tawakal. Ia mengajari kita bahwa rezeki bukan soal angka di rekening, tapi keberkahan dalam kehidupan.

Firman Allah Swt “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah: 216)

Mungkin kita membenci kemiskinan, tetapi justru di sanalah Allah menjaga kita dari kesombongan, dari lalai, dan dari ujian yang lebih berat. Kita ingin hidup lapang, tapi Allah ingin hati kita kuat.

Kata mutiara mengatakan “Terkadang, Allah tidak mengubah situasimu, karena Dia sedang mengubah hatimu.”

Kemiskinan juga bisa menjadi jalan untuk membuka mata hati. Ia memunculkan empati, menyuburkan solidaritas, dan menumbuhkan kesadaran sosial. Betapa banyak orang yang justru semakin bermakna hidupnya karena pernah merasakan pahitnya kekurangan.

Takdir Allah tidak pernah salah. Di balik kemiskinan, tersembunyi rencana yang tak selalu bisa kita pahami dengan logika. Namun, dengan iman, kita percaya bahwa segala yang Allah tetapkan, pasti membawa kebaikan.

Maka, bersabarlah. Jangan berkecil hati jika hari ini kita hidup dalam keterbatasan. Sebab, mungkin di mata manusia kita tak punya apa-apa, tapi di sisi Allah, kita sedang dikayakan dengan pahala dan cinta-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “Seandainya para hamba mengetahui bagaimana Allah mengatur urusan mereka, pasti hati mereka akan meleleh karena cinta kepada-Nya dan akan putus harapan mereka dari selain-Nya. (Madarijus Salikin, 2/215)

Pesan ini mengajarkan bahwa meskipun kita tak mengerti sepenuhnya jalan hidup yang Allah pilihkan, namun di balik semua itu ada rahmat dan kasih sayang yang dalam. Bahkan, kemiskinan sekalipun bisa menjadi cara Allah mendekatkan kita kepada-Nya.

Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari menulis dalam Al-Hikam “Jangan bersedih jika Allah menunda pemberianmu. Sebab, Dia mungkin sedang mempersiapkanmu untuk menerima yang lebih besar.”

Kata-kata ini sangat relevan bagi siapa pun yang tengah diuji dengan kesempitan rezeki. Bisa jadi, dengan menahan pemberian dunia, Allah sedang membukakan pintu-pintu akhirat.

Sementara itu, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata “Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan diambil oleh orang lain, maka hatiku pun tenang. Aku tahu bahwa tugasku tidak akan dikerjakan orang lain, maka aku pun sibuk mengerjakannya.”

Ketenangan hati dalam menerima takdir, termasuk kondisi miskin atau sempit, justru menjadi kekayaan ruhani yang luar biasa. Bagi para ulama salaf, kefakiran bukan kehinaan, melainkan alat untuk menguji cinta dan ridha kepada Allah.

Reporter Fathurrahim Syuhadi