BOGOR lintasjatimnews – Di tengah riuhnya dinamika organisasi kemasyarakatan, muncul satu kenyataan yang tak dapat kita pungkiri: banyaknya ormas yang hadir namun menyandang fungsi dan peran yang hampir serupa. Alih-alih bersinergi, tak jarang justru terjadi klaim kebenaran sepihak dan perebutan legitimasi yang merugikan tujuan bersama. Fenomena ini tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga menghambat lahirnya solusi bagi persoalan yang nyata di lapangan.
Bapak Djoko Sungkono, mantan BOD PT Jamsostek dua periode, dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional periode pertama tahun 2008 – tahun 2013 dari unsur ahli, yang saat ini menjabat sebagai Konsultan Asuransi Sosial sekaligus Staf Ahli Ketua Umum HNSI hasil Munas Bogor.
Mengingatkan bahwa organisasi massa seharusnya bukan wadah adu kepentingan, melainkan ruang perjuangan kolektif.
Dalam pandangannya, konflik dualisme seperti yang terjadi di tubuh HNSI dan juga organisasi2 lain, bukan sekadar masalah administrasi, tetapi cermin kegagalan memahami esensi keorganisasian itu sendiri: membela yang lemah, bukan mendulang pengaruh.
Sebagai seorang profesional dengan rekam jejak panjang di bidang jaminan sosial dan kebijakan publik, beliau menyambut inisiatif revitalisasi HNSI melalui Munas Bogor sebagai sebuah langkah penyelamatan.
HNSI lama telah lama vakum tanpa arah, ibarat kapal karam yang tak kunjung diperbaiki.
Maka, ketika arus bawah dari berbagai DPD HNSI mengangkat jangkar dan menyatukan niat, lahirlah Munas Bogor secara sah dan demokratis, yang menghasilkan kepemimpinan baru di bawah Laksamana (Purn) TNI Sumardjono, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Langkah ini bukan soal siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang lebih peduli pada masalah kemaritiman dan komunitas Nelayan Nasional.
Munas Bogor hadir sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kevakuman organisasi, dan sebagai upaya nyata menjawab derita nelayan—dari akses BBM subsidi yang timpang, hingga belum meratanya perlindungan sosial bagi keluarga pesisir.
Namun, alih-alih mendapat dukungan penuh, proses ini justru dihadapkan pada masalah klasik: dualisme kepemimpinan akibat SK ganda dari pejabat lama. Ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi soal keberpihakan.
Dalam situasi seperti ini, netralitas bukan berarti diam. Netralitas harus diiringi dengan keberanian menegakkan kejelasan dan keadilan hukum.
HNSI tidak bisa terus dibiarkan terpecah, karena yang menjadi korban bukanlah pengurus pusat, melainkan nelayan yang terpinggirkan.
Perlu kedewasaan dari semua pihak untuk menjadikan konflik ini sebagai titik balik, bukan bara perpecahan.
Sebagai Staf Ahli Ketua Umum, Bapak Djoko Sungkono menyampaikan harapannya : “Saatnya kita dewasa melihat arah perjuangan.
Laut bukan tempat bertarung untuk ambisi, tapi tempat kita menebar pengabdian. HNSI harus kembali jadi jangkar harapan bagi nelayan Indonesia.”
Di tengah ombak konflik, kita butuh nahkoda yang bijak. Bukan yang ingin menguasai kapal, tapi yang siap mengarungi badai demi masa depan nelayan.
Reporter: ahmadh