KUPANG lintasjatimnews – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikan pidato iftitah yang inspiratif dalam Tanwir Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), Rabu (4/12/2024) malam.
Dalam pidatonya, Haedar mengajak seluruh peserta Tanwir untuk menjadikan momentum ini sebagai sarana memperkuat energi konstruktif demi memajukan Muhammadiyah, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
Haedar membuka pidatonya dengan rasa syukur atas suksesnya pembukaan Tanwir di Kupang. Kehadiran Presiden RI, Prabowo Subianto, yang merasa seperti di rumah sendiri saat menyampaikan amanat, menjadi simbol sinergi antara Muhammadiyah dan pemimpin bangsa.
“Kami ingin bersama-sama Muhammadiyah NTT dan seluruh wilayah menjadikan spirit Tanwir ini sebagai penambah energi konstruktif untuk kepentingan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta,” ujarnya.
Antusiasme dari para pimpinan wilayah Muhammadiyah untuk menjadi tuan rumah Tanwir selanjutnya turut menjadi warna tersendiri dalam pembukaan ini. “Beberapa ketua PWM mulai berlomba daftar untuk Tanwir berikutnya, bahkan mungkin disertai janji-janji indah,” tambahnya dengan nada humor.
Dokumen Baru untuk Indonesia Berkemakmuran
Haedar mengungkapkan harapan agar Tanwir kali ini melahirkan dokumen penting yang akan memperkaya gagasan Muhammadiyah, khususnya konsep “Indonesia Berkemakmuran.”
Ia mengundang sebagai peninjau tokoh-tokoh spesial seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Prof Din Syamsuddin dan Prof Amin Abdullah.
“Mudah-mudahan dari Tanwir ini lahir sebuah dokumen baru untuk memperkaya dokumen lama, yakni Indonesia Berkemakmuran. Kami mohon masukan mendalam dari berbagai pihak,” tuturnya.
Warisan Spirit Teologis Kiai Dahlan
Pidato Haedar juga menyoroti nilai-nilai teologis yang diajarkan oleh Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ayat-ayat al-Quran seperti Ali Imran 104 dan 110, Surat Al-‘Asr, serta Surat Al-Ma’un menjadi fondasi pembaruan dan inspirasi perjuangan Muhammadiyah.
Haedar menjelaskan bahwa konsep “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” yang digagas Muhammadiyah telah memiliki tafsir resmi sejak Muktamar ke-37 di Yogyakarta pada 1968. Tafsir ini mencakup sepuluh ciri masyarakat Islam ideal, seperti kesejahteraan, ketertiban sosial, dan berkemajuan.
“Sayangnya, kita sering lupa membaca warisan ini, sehingga terus bertanya apa parameter Islam yang sebenar-benarnya. Padahal, jawabannya sudah dirumuskan sejak lama,” katanya.
Tafsir At-Tanwir
Dalam era modern yang penuh tantangan, Haedar menegaskan pentingnya tafsir teologis yang relevan. Tafsir At-Tanwir, yang menjadi karya monumental Muhammadiyah, bertujuan menyambung mata rantai inspirasi al-Quran dari Kiai Dahlan untuk menjawab kompleksitas zaman.
“Era kita jauh lebih kompleks dibanding era Kiai Dahlan. Namun, spirit dan visi beliau tetap relevan untuk membimbing Muhammadiyah ke masa depan,” tegas Haedar.
Pidato Haedar Nashir menjadi refleksi mendalam tentang perjalanan panjang Muhammadiyah dan tantangan ke depan.
Reporter: Alfain Jalaluddin Ramadlan