SURABAYA lintasjatimnews.com – Sebanyak 52 guru dari sekolah dan madrasah mengikuti workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan Institut Leimena pada 6-8 Oktober 2023 di Surabaya, Jawa Timur. Kegiatan tersebut bertujuan memperkuat peran guru untuk merawat kemajemukan Indonesia di tengah ancaman intoleransi dan rentannya polarisasi akibat perbedaan agama.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, yang hadir sebagai salah satu narasumber, mengatakan guru sebagai agen perubahan perlu menerapkan pendekatan LKLB dalam pembelajaran di kelas.
“Para guru kita ajak bersama-sama untuk merenungkan kembali bahwa masing-masing dari kita memiliki kewajiban merawat keberagaman, bukan hanya guru agama, tapi semua guru termasuk guru mata pelajaran,” kata Prof. Ruhaini saat membuka workshop LKLB bertemakan “Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum”, Jumat (6/10/2023).
Workshop LKLB ini didukung oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dan Sekolah Kristen Gloria, Surabaya. Seluruh peserta merupakan guru-guru alumni pelatihan LKLB yang diadakan secara daring selama sepekan.
Menurut Ruhaini, pembelajaran di sekolah saat ini seringkali melepaskan diri dari realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Itu sebabnya guru perlu “melek” atau memiliki literasi keagamaan yang baik sehingga mampu memasukkan pesan-pesan keberagaman dalam pembelajarannya di kelas.
“Saya mengajarkan Matematika, bagaimana memasukkan literasi keagamaan? Kita jangan hanya mengajarkan 1+1 = 2, tapi kita bisa menyebut, Ahmad punya buku 1, Made punya buku 1, jadi berapa jumlah buku mereka? Ketika guru menyebut nama Ahmad dan Made, artinya dia sedang mengajarkan realitas bahwa dalam masyarakat ada Made dan Ahmad yang berbeda,” ujarnya.
Ruhaini mengatakan pendekatan LKLB juga memperkuat program prioritas dan strategis Presiden Joko Widodo pada 2020 untuk menekankan kembali konsep Islam wasathiyah atau moderasi beragama. Ruhaini, yang pada 2018-2019 menjabat Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Keagamaan Internasional, menjadi salah satu penggagas konsep moderasi beragama bersama Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
“Moderasi beragama yang dirumuskan waktu itu konsepnya masih abstrak, sehingga kita memerlukan metodologi. Yang kita harapkan literasi keagamaan lintas budaya ini bisa memperkuat moderasi beragama,” lanjutnya.
Ruhaini, yang juga mantan Ketua Umum Komisi Independen Permanen HAM di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menambahkan pendekatan LKLB juga sejalan dengan penguatan supremasi hukum dan kebebasan beragama di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam workshop LKLB, prinsip-prinsip supremasi hukum juga diangkat secara lebih praktis.
“Pemahaman masyarakat akan pentingnya relasi antara supremasi hukum dengan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi Konstitusi adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah meningkatnya tantangan polarisasi di dunia,” kata Ruhaini.
Penerapan P5 HAM
Sementara itu, Direktur Kerja Sama HAM Kemenkum HAM RI, Dr. Harniati, mengatakan kerja sama program LKLB antara Kemenkumham dan Institut Leimena merupakan bagian dari penerapan P5 HAM, yaitu Penghormatan, Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan HAM. Para guru perlu dibekali kesadaran akan literasi keagamaan lintas budaya dan supremasi hukum agar terwujud penghormatan terhadap HAM termasuk dalam hal beragama.
“Mudah-mudahan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat maka supremasi hukum bisa kita capai bersama-sama,” kata Harniati.
Koordinator Program Alumni LKLB Institut Leimena, Daniel Adipranata, mengatakan workshop LKLB sudah diadakan 8 kali di sejumlah kota seperti Yogyakarta, Malang, Makassar, Palu. Sedangkan, pelaksanaan di Surabaya merupakan kedua kalinya untuk guru-guru alumni LKLB di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya.
“Workshop ini adalah tindak lanjut dari training LKLB yang dilakukan secara daring selama satu minggu. Di sini, kita membantu para guru untuk mengimplementasikan nilai-nilai dari LKLB lewat mata pelajaran yang mereka asuh,” kata Daniel.
Daniel menjelaskan pendekatan LKLB mengajarkan 3 kompetensi yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif. Kompetensi pribadi artinya seseorang diajak untuk mengenal apa kata agama dan kitab sucinya tentang orang lain (others). Sedangkan, kompetensi komparatif mengajak seseorang mengenal agama lain langsung dari penganutnya.
“Misalnya, saya sebagai Kristen belajar mengenal agama Islam langsung dari pemeluknya, bukan apa yang disampaikan di Youtube atau dari pendeta karena kemungkinan ada bias,” katanya.
Selanjutnya, kompetensi kolaboratif artinya bagaimana orang yang berbeda agama bisa saling berkolaborasi untuk kebaikan bersama. Persoalan di dunia seperti korupsi, pemanasan global, atau isu kesehatan, tidak akan bisa diselesaikan oleh satu kelompok agama atau golongan saja sehingga penting untuk menjalin kerja sama dengan mereka yang berbeda dengan kita.
“Program LKLB ini mencoba untuk menerobos sampai akar rumput, itu sebabnya guru yang menjadi subjek pelatihan, yang seringkali justru tidak tersentuh dengan program-program lintas agama yang ada,” kata Daniel.
Reporter: Zuhri