KALIMANTAN lintasjatimnews – Kayau merupakan salah satu tradisi lain yang dilakukan Suku Dayak sebelum melakukan peperangan. Kayau atau Ngayau merupakan tradisi memenggal kepala yang dilakukan dalam perang. Ritual ini memiliki banyak ragam dan dilakukan sesuai kebutuhan. Kayau tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Komunikasi mengenai kayau ini dilakukan saat pelaksanaan tradisi mangkuk merah. Mangkuk tersebut diedarkan dari desa ke desa, dan warga desa akan berkumpul untuk menyelenggarakan upacara adat lain untuk menyemangati orang yang akan pergi berperang.
Pelaksanaan tradisi kayau dilandasi beberapa hal, seperti balas dendam, mempertahankan diri, hingga kepercayaan yang beredar bahwa kepala musuh merupakan penambah daya tahan berdirinya bangunan. Pada tahun 1894, tradisi ini sepakat untuk diakhiri oleh seluruh masyarakat Dayak Borneo Raya.
Di masa lalu, peperangan antarsuku, kayau, dan pembantaian menjadi bagian kehidupan suku pedalaman. Tapi, palagan bisa terjadi tanpa sebab musabab jelas. “Mereka akan membunuh setiap orang tidak dikenal saat menjelajah hutan kekuasaannya. Prinsipnya hanya satu, yang mati aku atau kamu,” katanya.
Jika pecah perang besar, mereka meminta bantuan sahabat, yakni para roh dan pelindung Suku Dayak di Kalimantan. Para penganut Hindu Kaharingan ini percaya roh-roh merasuki jiwa pemuda Dayak saat berperang.
Tetapi, para sahabat itu tak hadir begitu saja. Ada upacara pemanggilan arwah yang digelar sebelum pertempuran meletus. Meski begitu, dalam kondisi lain, masyarakat Dayak sebenarnya rutin mengadakan upacara adat demi meminta perlindungannya.
Berbagai sesajen berupa sembelihan hewan dipersembahkan kepada para sahabat ataupun roh leluhur penunggu hutan. Bahkan hingga kini, ritual pemeluk Kaharingan ini berlangsung setiap tahun di Dusun Sangau.
“Biasanya setiap bulan Agustus digelar upacara ritual adat di Sangau yang dihadiri pimpinan suku di Kalimantan,” ujar Abriantinus. Dia bilang, tradisi sukunya persis adat kebiasaan turun-temurun warga Bali.
“Sesajen di tempat angker seperti pohon besar, gua hingga tempat-tempat sering terjadi kecelakaan,” ujarnya.
Lantaran itu, para prajurit Suku Dayak zaman dulu punya kesaktian luar biasa. Mereka berperang tanpa tampak wujud fisiknya, hanya menyisakan kelebatan mandau.
“Pedang mandau yang asli terbuat dari batu besi yang ditempa menjadi sebilah pedang tajam. Pedang ini berwarna gelap dan dihiasi gagang dari tulang hewan,” kata Abriantus.
Ketajaman dan kekuatan mandau batu besi tidak perlu diragukan. Senjata itu penting dalam ritual kayau.
Catatan lain, mandau yang sudah dipakai menumpahkan darah manusia berbeda dari mandau biasa yang ditemukan di pasar. Pasalnya, warga Dayak punya kebiasaan melubangi gagang pedangnya setiap kali usai memenggal kepala musuh.
“Satu lubang di pedang mandau artinya sama dengan satu nyawa. Kalau ada banyak lubang artinya pedang itu sudah menghabisi banyak musuh,” ujar Abriantinus.
Selain berhiaskan lubang, gagang mandau juga diperelok dengan rambut kepala musuh yang baru saja ditebas. Tak laik dilupa adalah rajah tato atai kelingai atau ekor kalajengking di buku jari pemegang mandau. Semua hal tersebut dipercaya menambah kekuatan magis pedang.
Kini sisa-sisa tradisi penggal kepala hanya kekal pada tarian kayau, yang masih dipelihara komunitas Suku Mak Uwak di Long Bagun, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Meski begitu, tarian ini dianggap tabu dan tidak bisa sembarangan dimainkan.
“Istilahnya tarian terlarang. Kami larang setiap orang untuk mempelajarinya karena dipercaya akan membawa kesialan bagi kami warga dusun,” kata Kepala Adat Suku Mak Uwak, Avun Ingan, 54 tahun.
Tarian kayau boleh digelar setelah mendapat persetujuan rapat besar yang dihadiri seluruh komunitas Mak Uwak, yang anggotanya menyebar hingga Malaysia. Para penarinya bahkan mempelajari gerakan tari sesaat sebelum mementaskannya di hadapan warga adat.
Namun, pada tarian itu, tradisi memenggal kepala manusia diganti dengan memotong kepala babi atau ayam.
“Tarian ini dilaksanakan laki-laki dewasa pada kondisi tertentu saja, seperti kala memasuki musim berladang,” ujarnya.
Tradisi kayau bermula di Dusun adat Pamangka yang terletak di pelosok Barito Selatan. Keberadaan dusun ini tersambung dengan asal muasal kerajaan purba, Nan Sarunai, di Amuntai.
Serbuan Kerajaan Majapahit dari Jawa pada tengah abad ke-14 menjadi awal keruntuhan Nan Sarunai. Kaum kesatria dan bangsawan kerajaan melarikan diri masuk ke pedalaman pesisir Sungai Barito, Kalimantan Tengah.
Kelompok Suku Maanyan ikut beringsut masuk ke pedalaman mendiami Dusun Pamangka.
“Ada serangan pasukan Majapahit dan Demak membuat warga Dayak saat ini masuk ke pedalaman Kalimantan, salah satunya di Dusun Pamangka ini,” kata juru kunci Situs Tuga, Desa Pamangka, Barito Selatan, Atung Asep, 75 tahun.
Setelah ratusan tahun berlalu, sejumlah sub-suku baru di kalangan orang Dayak bermunculan. Masing masing menerapkan secara tegas eksistensi dan dominasi kekuasaan wilayahnya.
Pedang dan tombak lazim dipakai untuk menyelesaikan berbagai masalah. Tradisi perang antarsuku demi mencaplok wilayah kelompok lain menjadi lumrah.
Dalam pertempuran, kelompok pemenang menerapkan tradisi kayau atau penggal kepala kepada musuh-musuhnya. Bahkan kepala hewan peliharaan lawan pun harus tanggal.
“Kepala musuh akan digantung di pohon yang dianggap keramat,” papar Atung.
Banyak yang percaya dusun ini punya benteng gaib pelindung keberlangsungan warganya. Benteng gaib itu dimaknai sebagai tuga, yakni perjanjian antara tetua Maanyan dengan para sahabat atau roh-roh gaib.
Janji Tuga berarti upaya melindungi warga Dusun Pamangka dari ancaman musuh. Hingga zaman modern ini, warga Maanyan tetap meyakini perjanjian masih berlangsung turun-temurun.
Kami juga tidak luput dari bahaya diserang kelompok lain yang mengincar kekuasaan atas wilayah Barito. Perjanjian tuga ini yang mampu melindungi warga dari ancaman luar,” ujar Atung.
Seturut keterangannya, perjanjian disepakati pada 1809.
Di antara sahabat pelindung dimaksud adalah arwah leluhur yang dikenal sebagai sembilan panglima Suku Dayak. Para panglima berjuluk pangintuhu bernama Nunan bin Matagum, Sampu, Ginap, Nyunre, Natan, Wadjun, Ginro, Hendrik ,dan Bane.
Para panglima itu konon “turun” saat Suku Dayak tertimpa kemalangan.
“Mereka membantu kami di saat warga Dayak dalam posisi terdesak saja. Turun kembali ke bumi lewat upacara tetua adat,” kata Atung, yang mengaku sebagai keturunan para pangintuhu.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 700 komunitas adat tradisional di Kalimantan Tengah. Mereka ini merupakan kelompok masyarakat Suku Dayak tradisional yang berdiam di daerah hutan adat Kalimantan Tengah.
“Hanya 340 di antara komunitas adat yang resmi masuk dalam data AMAN. Sisanya menunggu pengesahan dari kongres AMAN nanti,” kata Ketua AMAN Kalimantan Tengah, Simpun Sampurna.
Simpun mengatakan masyarakat Suku Dayak terbagi dalam sembilan sub-klan utama: Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Siakng Murung, Meratus, Bakumpai, Dusun Bayan, Dusun Taboyan, dan Mendawai. Dari sembilan itu, lahir ratusan sub-suku.
“Dusun Pamangka ini termasuk di antara komunitas warga adat yang ada di Kalteng ini,” kata Simpun.
Kementerian Dalam Negeri sudah menerbitkan aturan berisi perlindungan hukum atas keberadaan masyarakat adat di Indonesia, yang memiliki nilai kearifan lokal.
“Peraturan ini sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, implementasi di lapangan belum jalan hingga kini. Hanya lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengupayakan hak hak warga adat ini,” ujar Simpun.
Peraturan itu menghendaki pemerintah daerah untuk melakukan verifikasi dan validasi data mengenai keberadaan masyarakat adat. Namun, pada kenyataannya, kata Simpun, AMAN semata yang melakukan pendataan keberadaan warga adat di seluruh Indonesia.
Simpun mencomot Kalimantan Tengah sebagai misal. Dia berani merekomendasikan 12 komunitas adat yang layak memperoleh penetapan hukum dari pemerintah daerah setempat.
Sebanyak 12 komunitas adat sudah kami petakan keberadaannya sebagai area tradisional Suku Dayak, dan sebanyak sembilan lainnya dalam proses pengerjaan,” ujarnya.
Penetapan komunitas adat akan memberikan kepastian perlindungan hukum dan eksistensi masyarakatnya. Dalam beberapa kasus, kata Simpun, komunitas warga adat acap kali menjadi korban konflik agraria hingga kriminalisasi melawan perusahaan perkebunan maupun pertambangan.
Reporter Belly Sabara